Saturday, February 21, 2015

Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan

Advertisement
Untuk mencapai brand awareness yang lebih tinggi, paling tidak pengiklan harus berusaha membuat iklannya jadi menarik, lewat kreativitas yang tinggi. Ketika kreativitas itu menggunakan pendekatan yang terjebak oleh pelanggaran norma-norma etis kemasyarakatan lewat eksploatasi figur wanita dan daya tarik yang melingkupinya.

Akankah kreativitas itu disebut sebagai penyimpangan dalam iklan? Ataukah sah-sah saja sebagai suatu bentuk pendekatan yang menuruti selera pasar.

Heboh media massa yang menerbitkan foto-foto ‘syur’ model-model wanita dan tulisan-tulisan yang merangsang libido sempat melanda negeri seiring dengan momentum reformasi. Alih-alih reformasi dalam media massa melahirkan paradigma baru yang menghalalkan segala cara untuk membujuk masyarakat guna meningkatkan oplagnya.

Bagaimana dengan iklan-iklan yang memanfaatkan figur wanita sebagai penarik pandang? Beberapa saat yang lalu sempat heboh iklan kondom Artika dengan jargon/key word ‘meeoong’ yang diucapkan seorang wanita dengan gaya dan ekspresi yang sexy nan merangsang. Menarik disimak tentang kiat pengiklan dalam memaparkan sebuah citra yang menuntut khalayak mencari benang merah antara fungsi kondom sebagai alat khusus pria, dengan suara lenguhan kucing (baca puss) yang berarti salah satu bagian khusus tubuh wanita, yang menjadi bagian komplementer pemakaian kontrasepsi tersebut.

Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan

Masih segar dalam ingatan ketika produsen kopi TORABIKA meluncurkan produk Kopi Torabika Duo berupa minuman kopi bercampur susu yang dikemas satuan. Seiring dengan peluncuran itu, pengiklan membuat jargon ‘pas susunya’. Iklan ini kemudian diprotes masyarakat karena visualisasi kata susu pada iklan TV, yang mengarahkan masyarakat kepada citra (lagi-lagi) bagian tubuh wanita. Pengiklan memang sengaja menciptakan pemahaman ganda tentang idiom ‘pas susunya’. Yakni, campuran perbandingan kopi dan susu yang tepat sesuai selera masyarakat yang menjadi tolok ukurnya, serta suatu pengertian tentang ‘tepat mengena pada bagian tubuh tertentu wanita’, yang bermakna sama bagi sebagian masyarakat. Namun ternyata produk varian kopi ini tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang menjadi golongan representatifnya. Akibatnya terjadi pemahaman ganda mengenai makna kata ‘susu’. Salah satu mengartikan susu dalam pengertian milk , sementara yang lain memahaminya sebagai breast. Polemik ini berakhir dengan diguntingnya visualisasi dari adegan yang dapat menimbulkan citra yang miring dari idiom ‘pas susunya’. Sehingga menjadi hanya bermakna tunggal, artinya campuran kopi dan susu dengan perbandingan yang tepat.

Masih banyak iklan yang memanfaatkan figur/bagian tubuh wanita untuk penarik pandang, sekaligus menciptakan kesan tertentu. Hal ini juga dijumpai pada iklan layanan masyarakat, yang notabene diciptakan untuk pesan-pesan sosial sarat makna. Salah satu iklan layanan masyarakat yang pernah diprotes adalahiklan tentang penanggulangan perkosaan. Visualisasi iklan ini menampilkan gambar wanita mengenakan rok yang cukup ekstrim tingkat mininya, disertai pesan ‘bagaimana perkosaan ditekan jika rok anda semakin tinggi’. Pengiklan mengajak khalayak untuk menekan angka perkosaan, namun justru citra iklan itu kontradiktif dengan misi yang dikandung.

MENCIPTAKAN KESAN PRODUK DENGAN CITRAAN
Iklan tidak bisa lepas dari konsep komunikasi persuasi. Secara persuasif iklan berusaha mempengaruhi sasarannya secara langsung serta terus-menerus mendorong atau merubah tingkah laku kelompok sasarannya seperti yang dikehendaki. Secara sengaja ide yang dilakukan oleh pengiklan dikemas dengan sajian yang secara persuasif mempengaruhi persepsi dan pandangan khalayak sasaran sehingga kesan terhadap iklan itu tertanam kuat. Menurut Astrid S Susanto (1977), ide yang diajukan dalam iklan haruslah bersifat seleksi terhadap daya tarik yang dapat diberikan oleh barang atau jasa yang dianjurkan, yaitu motivasi daya menarik yang dapat menghubungkan kebutuhan individu (komunikan) dengan jasa atau barang yang dianjurkan.

Di dalam mal atau supermarket, akan tampak tebaran produk yang beraneka ragam, satu dengan lainnya saling berlomba daya tarik kemasan atau visual merchandisenya, hal ini membuat khalayak menjadi bingung untuk menentukan pilihannya. Akhirnya keputusan untuk menentukan pilihan produk (bila ia tidak punya brand minded) adalah dari referensi dalam benaknya. Berlakulah konsep, bahwa produk yang dipilih adalah produk yang memenangkan ‘battle of mind’ dalam diri khalayak. Selain dari faktor kualitas produk dan distribusinya, cara untuk memenangkan ‘battle of mind’ adalah dengan cara membuat produk mampu bertahan di posisi teratas dengan bantuan stimulistimuli yang menyentuh nuansa daya tarik calon konsumennya.

Produk consumer goods, misalnya rokok, yang di Indonesia diharamkan untuk ditampilkan baik kemasan ataupun pencitraan product in use, ternyata sudah memakai metode tersebut di atas. Banyak pendatang baru yang segmennya saling berbenturan, sebagian diantaranya cenderung mereka tidak mencari/menciptakan segmen baru, mereka menindih produk yang sudah ada dengan cara menyerang produk yang mapan sudah muncul terlebih dahulu. Misalnya, rokok PRINSIP yang ‘menyerang’ rokok 234 dengan slogan ‘prinsipku: kalau bisa no 1, buat apa nomor 2,3 atau 4’. Kondisi ini pada gilirannya menuntut para pengiklan untuk semakin kreatif menciptakan terobosan spektakuler dalam menciptakan citraan-citraan khusus bagi iklan rokoknya. Misalnya Marlboro dengan koboi; Lucky Strike dengan balapan/kecepatan; Star Mild dengan akal kreatifitas pengejawantahan konsep ‘losta masta’ yang merupakan plesetan dari kata low tar much star; Gudang Garam dengan dunia laki-laki yang keras, tangguh, pemberani, Bentoel dengan jiwa petualangannya; dan Longbeach, produk turunan dari produsen Marlboro khusus untuk kaum pekerja keras middle low yang kehidupannya penuh dengan rutinitas, sehingga perlu sublimasi dari ritme hidup yang monoton.

Eksploatasi wanita dalam iklan rokok antara lain dapat ditemui pada iklan rokok Djarum Super dan Mr Brown. Iklan rokok Djarum Super, era 90-an memakai slogan ‘nothing can separate a man and his Djarum’; Visualisasi iklan menggambarkan seorang pria peniup saxophone sedang beraksi dalam sebuah rumah bergaya postmo, sementara itu seorang wanita berbusana malam (nan cantik dan seksi) berjingkat-jingkat menaiki tangga rumah itu sambil menoleh kearahnya. Si pria tersenyum penuh arti. Bahasa key word ini mengandung dua makna. Pertama sebagai Jarum dalam pengertian brand name, kedua suatu citra tentang ‘alat penusuk’ dalam konsep lingga.

Pada iklan rokok Mr Brown versi yacht, tidak akan ditemui adegan orang merokok atau memegang bungkus rokok. Yang ditampilkan justeru kontes pakaian wanita, yang sarat wanita cantik dengan dikombinasi dengan ulah nakal angin laut yang menyibakkan gaun.

Menurut Guy Debord (dalam Piliang, 1995) masyarakat kapitalisme mutakhir adalah masyarakat tontonan, sehingga di dalam memproduksi komoditi harus disertai dengan memproduksi tontonan, dan tontonan ini dijabarkan sebagai materi-materi yang hadir dalam iklan, brosur, pameran, window display, hadiah kuis dan lain-lainnya. Masyarakat kapitalisme mutakhir adalah kaum yang berorientasi pada kepentingan ekonomi untuk memuaskan hasratnya yang semakin menggelembung dalam berbagai sisi kehidupannya. Sehingga, menurut Piliang (1998) ekonomi tidak lagi sekedar berkaitan dengan kegiatan pendistribusian barang-barang (hasil produksi) dalam suatu arena pertukaran ekonomi, akan tetapi sudah dikuasai oleh semacam libidonomics (nemein = mendistribusikan + libido = energi nafsu), yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran ekonomi. Transaksi yang dilakukan tidak hanya transaksi saham tetapi juga transaksi seksual, sampai kepada deregulasi tubuh, erotika ekonomi, produksi ekstasi, serta konsumsi ilusi dan halusinasi.

Ketika pengiklan menawarkan produk, sesungguhnya ia seperti menebarkan sebuah jaring. Ibarat ikan, khalayak diraih dengan berbagai cara. Kesadaran akan eksistensi produk dijalin dengan stimuli berupa pencitraan-pencitraan yang direkayasa yang menimbulkan pikatan secara seksual. Piliang (1998) memberi contoh , kini untuk memproduksi barang seperti shampo (relasi ekonomi) tidak lagi sekedar diiringi dengan memproduksi image dalam iklan (relasi komunikasi), akan tetapi juga memproduksi bujuk rayu, rangsangan, erotika (relasi seksual) secara bersama-sama. Hal yang akan terjadi kemudian adalah passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu), yakni kapitalisme yang mengumbar kegairahan untuk memperoleh keuntungan kapitalisme yang seperti layaknya mucikari mengubah nafsu (desire) menjadi kebutuhan (need).

Daya pikat komunitas citraan yang terbentuklah yang pada akhirnya menimbulkan sense dan pengalaman luar biasa dalam diri penikmat iklan. Mereka akan larut dalam ekstasi bujukan serta gelombang eksternal. Sensasi demikian akan membawa serta brand name produk dalam kesan yang terbentuk bersamaan dengan stimuli yang didapat. Terobosan seperti ini sering dipakai oleh pengiklan dengan memunculkan sesuatu yang baru, atau menurut Rakhmat (1992), pemasang iklan sering memanipulasikan unsur kebaruan ini dengan menonjolkan yang luar biasa dari barang atau jasa yang ditawarkannya. Media massa juga tidak henti-hentinya menyajikan program-program baru. Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan lepas dari perhatian.

Iklan Djarum Super versi peniup saxophone, Mr Brown versi yacht, Torabika Duo, Kondom Artika, makanan suplemen Machoman yang terkenal dengan jargon ‘nggak kuku deh’; adalah contaoh-contoh yang menawarkan kebaruan (terlepas dari sisi batasan etika eksploatasi wanita dan daya tarik seksualnya) dimana belum pernah ada kompetitor (baca produk sejenis dengan segmen yang seragam) yang melakukannya. Bukan mustahil, mereka menjadi pelopor sekaligus preseden bagi suatu kondisi degradasi kreatifitas, karena hanya memanfaatkan daya tarik wanita yang di presentasikan dengan cara-cara yang dikemas menurut selera (naluri) yang paling mendasar.

Menurut David Ogilvy (dalam Abidin, 1997) bahwa humor dan seks hanyalah tambahan agar lebih memberikan rangsangan khusus yang bisa dimasukkan dalam setiap tv comm. Tidak menjadi masalah apapun teknik yang dipakai, yang menjadi catatan disini adalah pengiklan harus hati-hati sebab mungkin saja semua itu mengaburkan pesan iklan Anda. Sebab khalayak lebih mengingat figur-figur jelita dan akting seronok yang ditampilkan ketimbang produknya, Jika ini terjadi berarti iklan gagal sebagai pesan yang harus diterima.

Dalam hal ini parameter yang digunakan oleh Ogilvy adalah dengan melakukan penghilangan tambahan ‘hiburan’. Apabila pesan utama pada tv comm tersebut masih layak sebagai tv comm maka tambahan ‘hiburan’ dapat mendukung strategi kampanye produk.

Ketika Artek Advertising membuat tv comm yang mengundang protes masyarakat (seperti pada produk Supertin ‘lho kok loyo’, jamu Kuku Bima TL dengan jargon ‘belum game kok udah keluar’ dan kopi Torabika Duo ‘pas susunya’), mereka punya asumsi bahwa untuk mengkomunikasikan pesan (baca brand aware) kepada khalayaknyaN harus menggunakan pendekatan yang sesuai dengan segmen target pasarnya.

Akibatnya kelompok masyarakat tertentu mencoba menggugat lewat dalih nilai-nilai etika. Polemik yang meluas membuat brand awareness produk terdongkrak secara luar biasa.

Kiat ini identik dengan ‘kasus’ sampul depan majalah Gatra yang memuat gambar Soeharto (waktu itu masih presiden) yang diparodikan sebagai figur king dalam citraan kartu bridge. Majalah Gatra ini laris manis karena edisi ini dilarang beredar. Sejak itu citraan Gatra melekat kuat di benak khalayak.

Hal ini juga ‘ditiru’ oleh majalah Popular, dengan foto ‘heboh’ Sophia Latjuba yang menghiasi sampul depan dan halaman tengahnya. Saking larisnya, sampai dapat ditemui di internet pada site-site khusus dalam bentuk gambar-gambar dengan format JPG. Khalayak akan terus ingat tentang majalah Popular edisi Sophia Latjuba, bahkan setelah itu mereka akan terus mengamati edisi-edisi selanjutnya, untuk menantikan ‘pengalaman’ serupa dari artis lain.

Iklan-iklan ‘bermasalah’ yang dianggap melanggar kaidah-kaidah kesopanan dan nilai-nilai etika secara tidak sadar ikut mempengaruhi kesan keberadaan produk karena khalayak justeru akan mengingat-ingat deviasi nya. Diskusi dan polemik yang muncul, akan lebih menguntungkan posisi brand name produk, karena dapat meloncat ke posisi yang lebih baik lagi di ingatan konsumen.

Dengan demikian akselerasi iklan menuju kepada tahap brand interest akan lebih cepat tercapai. Menurut Lucas dan Britt (dalam Susanto 1977), kegiatan periklanan yang termurah adalah pada fase AID yakni Attention – Interest - Desire, karena tahap-tahap ini merupakan fase psikologis pada pihak komunikan. 8 Tinggal sekarang bagaimana kualitas dan distribusi barangnya. Jika keduanya hebat, bukan mustahil akan menjadi pemimpin dalam segmennya.

Kegiatan periklanan termurah tadi, ditambah dengan deviasi cara penyampaian iklan-nya, dapat dimanfaatkan oleh pengiklan dengan mengurangi frekuensi penayangan, karena kuota kesadaran akan produk oleh khalayak telah tercapai. Otomatis biaya iklan akan lebih ringan, dan menguntungkan pengiklan. Dengan kata lain, biaya iklan sama, frekuensi sama namun kesadaran akan produk lebih tinggi.

INTERAKSI KEINTIMAN DAN DAYA TARIK KEJELITAAN
Iklan-iklan yang memanfaatkan figur wanita sebagai daya tarik, diklasifikasikan dalam dua kategori menurut tipe pendekatan keterlibatan wanita di dalam peranannya sebagai penarik pandang, yakni:

Keterlibatan dalam situasi tunggal
Hanya ada figur tunggal wanita tanpa melibatkan lawan jenisnya. Umumnya cara ini memanfaatkan wanita segi dari kejelitaan, kepopuleran, daya tarik, dan pesona figur wanita, termasuk di dalamnya sisi seksualnya. Iklan Sari Puspa tolak nyamuk, Fungiderm, permen karet Juicy Fruits versi dangdut, Kuku Bima versi jamu untuk pakde, bir Bintang versi wanita, dan Toshiba Flaitron, merupakan contoh iklan yang memanfaatkan sisi kejelitaan dan daya tarik seksual wanita, pada situasi tunggal. Di sini hanya sosok wanita saja yang dieksploitir. Sedangkan contoh-contoh lain dapat dijumpai pada Xon Ce versi Elma Theana (yang mengangkat namanya, sekaligus dengan jargon Xon Ce-nya mana?), kulkas Sharp versi Minati Atmanegara sedang senam, Sanken-nya Desi Ratnasari, dan Lux versi Desi, Nadya, Vira Yuniar, Tamara, AB Three, serta Nia Zulkarnaen. Untuk yang disebut terakhir ini ditengah peredarannya pernah ditarik untuk disensor karena pada salah satu adegan mandi terkesan seolah Nia Zulkarnaen membaluri Lux pada bagian tubuh yang tabu untuk diekspose. Untuk kategori makanan dan minuman kategori ini diwakili oleh produk teh Gunung Subur; teh Hijau dan Lemon Tea yang menampilkan Diana Pungki dan Jeihan Fahira. Contoh-contoh di atas merupakan iklan yang mengkombinasi kepopuleran model dengan daya tariknya sebagai wanita, suatu sosok ideal dalam imajinasi khalayak.

Keterlibatan dalam interaksi keintiman secara komplementer
Eksploatasi kejelitaan dan daya tarik seksual wanita dapat terjadi akibat interaksi dengan lawan jenisnya. Iklan jenis ini banyak contohnya, termasuk di dalamnya iklaniklan yang dianggap sebagai bentuk deviasi norma dan etika. Contohnya antara lain: Kondom Artika versi ‘meong’; Durex layanan masyarakat versi ‘cegah AIDS, gunakan kondom, masuk akal kan’; Balsem Cap Lang versi ‘sudahlah mas’; Salonpas versi ‘pas ngapel..pas pada pergi’; Rapet Wangi versi Devi Permatasari; Kopi Kapal Api versi ‘ulang tahun’; Permen Travela versi ‘kena di dada’; M 150 versi ‘arung jeram’; Rokok Mustang versi ‘kebakaran ranch’; Permen Relaksa versi ‘wanginya memang jodoh’; Tropicool versi ‘kulenyeer’; Suplemen Machoman versi ‘tak kuku’

Para passionate capitalism (meminjam istilah Piliang; 1998) mempunyai tugas menggali setiap rangsangan, getaran, dan hasrat ekonomi, serta memperhalusmeningkatkan daya kerja, daya tarik, dan daya pesona produk; meningkatkan mutu pelayanan, mutu kemasan, dan mutu pengirimannya; meningkatkan daya rangsang para cover girl yang menjadi bintang iklan produk tersebut; meningkatkan daya erotisme para salesgirl yang menawarkan produk yang dijual; serta meningkatkan daya sensual para modelgirl yang memamerkan produk yang ditawarkan di atas catwalk .9 Apa pun diluar seks kini diseksualitaskan. Misalnya iklan TOYOTA yang dilatardepani oleh seorang wanita seksi yang menantang, suatu kampanye politik yang disertai oleh para model yang semampai, suatu pameran pupuk urea yang dijaga oleh seorang wanita seksi, sebuah pertandingan olah raga yang dimeriahkan oleh para wanita penyorak 'economicus erotica'.

Wanita sebagai komoditi pemanis dengan terstruktur dikupas habis-habisan setiap lekuk dan moment-nya. Mulai ketika ia bangun tidur, mandi, kerja, buang air, berangkat tidur dan aktivitas di kamar tidur, bahkan sampai kepada hal yang paling intim sekalipun (contohnya, Rapet Wangi dan pembalut wanita Laurel). Sebuah diskriminasi dalam gender. Ketidakadilan ini semakin transparan, ketika produk-produk khusus pria yang notabene kaum hawa tidak berkepentingan, secara langsung tetap mengeksploitir wanita misalnya iklan rokok Mr Brown versi ‘yacht’, atau Machoman versi ‘nggak kuku, deh’).

Pada bahasa semiotika tubuh tersebut, produk menantang Claudia Schiffer, produk sensual = wajah sensual Madonna, produk klasik = wajah klasik Barbara Streissand, merupakan komoditi ekonomi. (Piliang, 1998).

Para bintang iklan telah mampu menghipnotis para penonton televisi. Apakah sebetulnya kepentingan mereka dalam ekonomi? Kepentingan utama yang diperlihatkan kekuasaan ekonomi terhadap tubuh atau wajah-wajah ini tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan daya kekuatan libidonya.

TATA KRAMA DAN MARTABATNYA

Menurut Rhenald Khasali (1992) iklan tidak bermaksud untuk menyakiti hati atau menyinggung perasaan publik. Namun seringkali hal itu tidak dapat dihindari karena kelompok calon pembeli yang terdiri atas banyak kelompok besar yang heterogen. Figur wanita sebagai penarik pandang jika tidak dikemas secara bijaksana akan berbenturan dengan rambu pelecehan martabat dan tata susila.

Iklan sebagai sebuah karya seni, merepresentasikan ideologi yang disebut ideologi visual, yang merupakan perpaduan elemen-elemen formal dan tematik tertentu. Dengan sarana itu seniman mengungkapkan dan mengkaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensi mereka. Di dalam proses penciptaan makna-makna dalam seni, Kristeva dan Barthes membedakan dua kategori makna, yaitu signifikasi dan significance. Signifikasi; adalah makna yang dikontrol dan dilembagakan secara sosial dan menjadi ideologi suatu masyarakat, sementara Significance; adalah makna yang bersifat subversif dan kreatif, yang merupakan dekonstruksi dari makna-makna konvensional/ideologis.

Seniman/desainer iklan memberi tempat bagi sikap hedonistik dalam proses karyanya, yakni kesenangan, kegairahan, dan ekstasi yang diakibatkan oleh lemahnya marjinalisasi konsep baik atau buruk, berguna atau sampah, bermoral atau amoral, berbudaya atau asusila yang selama ini dipaparkan dalam kancah kontradiksi logis dan konflik.

Sementara itu mereka terkungkung dalam gelombang hasrat masyarakat passionate capitalism yang menciptakan segala trik, dan strategi untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk kesenangan, dan setiap bentuk seksual sebagai kapital libido. Deviasi ini semakin komplit ketika dilakukan secara kolektif dan terstruktur oleh komunitas industri dan periklanan, sehingga Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia hanya tinggal sebagai sebuah konsep yang masih harus mencari penjabaran konkrit yang rigid dan dipatuhi tanpa pandang apapun, sebagai rambu-rambu yang menuntun menuju kepada kedewasaan periklanan di Indonesia.

KESIMPULAN

Mencerna sebuah iklan ternyata tidak semudah menikmatinya. Diperlukan ketajaman berfikir dan analisis, untuk memperoleh korelasi antara makna yang tersirat, yang sebenarnya hendak dibentuk oleh pengiklan dengan makna yang tersurat, yang tercipta lewat rekayasa citraan. Makna tersirat ini dikemas berdasar kondisi-kondisi tertentu yang biasanya berkaitan dengan rantai sistem penyampaian pesan (attention, interest, dan desire), serta dengan kualitas produk, kondisi demografi, posisi pesaing, dan karakter segmen.

Konsep tersembunyi ini didekonstruksi sedemikian rupa, serta mengalami deviasi ketika diterjemahkan kedalam bentuk sistematika mekanisme pesan iklan yang melibatkan elemen-elemen desain komunikasi dan audio visual.

Penggunaan pendekatan yang mengacu kepada bahasa semiotika tubuh wanita dan daya tarik seksualitasnya semakin menggejala. Apalagi ketika trobosan itu menjanjikan keuntungan yakni pesan menjadi lebih terekam dan produk semakin dicari karena dampak heboh iklannya. Akibatnya semua dimensi yang terlibat dan terkait dalam proses periklanan berlomba-lomba dalam euphoria kapitalisasi libido; setiap hasrat ekonomi diterjemahkan melalui lekuk tubuh, kecantikan dan daya tarik desire.

Ketika Tata Krama Periklanan Indonesia dapat disiasati dan menjadi norma-norma yang dapat ditafsirkan berbeda-beda, maka masa depan iklan indonesia bergantung kepada insan-insan pelaku iklan, dari creative director, visualizer, produser, sampai kepada produsen barang/jasa, serta khalayak, bahwa terdapat beberapa pilihan: mempertahankan idealisme, terpuruk dalam gelombang selera pasar, atau menciptakan trend baru yang lebih normatif dan santun.

Demikianlah artikel tentang Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan yang dipublikasikan pada blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.

Psikologi Komunikasi
Share this article to your friends :
DMCA.com Protection Status

0 comments: