w3c PsikologiKomunikasigravatar PsikologiKomunikasiCopyrighted.com Registered & Protected 
YJ99-XNEZ-A5VT-AAOC

Saturday, February 21, 2015

Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan

Untuk mencapai brand awareness yang lebih tinggi, paling tidak pengiklan harus berusaha membuat iklannya jadi menarik, lewat kreativitas yang tinggi. Ketika kreativitas itu menggunakan pendekatan yang terjebak oleh pelanggaran norma-norma etis kemasyarakatan lewat eksploatasi figur wanita dan daya tarik yang melingkupinya.

Akankah kreativitas itu disebut sebagai penyimpangan dalam iklan? Ataukah sah-sah saja sebagai suatu bentuk pendekatan yang menuruti selera pasar.

Heboh media massa yang menerbitkan foto-foto ‘syur’ model-model wanita dan tulisan-tulisan yang merangsang libido sempat melanda negeri seiring dengan momentum reformasi. Alih-alih reformasi dalam media massa melahirkan paradigma baru yang menghalalkan segala cara untuk membujuk masyarakat guna meningkatkan oplagnya.

Bagaimana dengan iklan-iklan yang memanfaatkan figur wanita sebagai penarik pandang? Beberapa saat yang lalu sempat heboh iklan kondom Artika dengan jargon/key word ‘meeoong’ yang diucapkan seorang wanita dengan gaya dan ekspresi yang sexy nan merangsang. Menarik disimak tentang kiat pengiklan dalam memaparkan sebuah citra yang menuntut khalayak mencari benang merah antara fungsi kondom sebagai alat khusus pria, dengan suara lenguhan kucing (baca puss) yang berarti salah satu bagian khusus tubuh wanita, yang menjadi bagian komplementer pemakaian kontrasepsi tersebut.

Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan

Masih segar dalam ingatan ketika produsen kopi TORABIKA meluncurkan produk Kopi Torabika Duo berupa minuman kopi bercampur susu yang dikemas satuan. Seiring dengan peluncuran itu, pengiklan membuat jargon ‘pas susunya’. Iklan ini kemudian diprotes masyarakat karena visualisasi kata susu pada iklan TV, yang mengarahkan masyarakat kepada citra (lagi-lagi) bagian tubuh wanita. Pengiklan memang sengaja menciptakan pemahaman ganda tentang idiom ‘pas susunya’. Yakni, campuran perbandingan kopi dan susu yang tepat sesuai selera masyarakat yang menjadi tolok ukurnya, serta suatu pengertian tentang ‘tepat mengena pada bagian tubuh tertentu wanita’, yang bermakna sama bagi sebagian masyarakat. Namun ternyata produk varian kopi ini tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang menjadi golongan representatifnya. Akibatnya terjadi pemahaman ganda mengenai makna kata ‘susu’. Salah satu mengartikan susu dalam pengertian milk , sementara yang lain memahaminya sebagai breast. Polemik ini berakhir dengan diguntingnya visualisasi dari adegan yang dapat menimbulkan citra yang miring dari idiom ‘pas susunya’. Sehingga menjadi hanya bermakna tunggal, artinya campuran kopi dan susu dengan perbandingan yang tepat.

Masih banyak iklan yang memanfaatkan figur/bagian tubuh wanita untuk penarik pandang, sekaligus menciptakan kesan tertentu. Hal ini juga dijumpai pada iklan layanan masyarakat, yang notabene diciptakan untuk pesan-pesan sosial sarat makna. Salah satu iklan layanan masyarakat yang pernah diprotes adalahiklan tentang penanggulangan perkosaan. Visualisasi iklan ini menampilkan gambar wanita mengenakan rok yang cukup ekstrim tingkat mininya, disertai pesan ‘bagaimana perkosaan ditekan jika rok anda semakin tinggi’. Pengiklan mengajak khalayak untuk menekan angka perkosaan, namun justru citra iklan itu kontradiktif dengan misi yang dikandung.

MENCIPTAKAN KESAN PRODUK DENGAN CITRAAN
Iklan tidak bisa lepas dari konsep komunikasi persuasi. Secara persuasif iklan berusaha mempengaruhi sasarannya secara langsung serta terus-menerus mendorong atau merubah tingkah laku kelompok sasarannya seperti yang dikehendaki. Secara sengaja ide yang dilakukan oleh pengiklan dikemas dengan sajian yang secara persuasif mempengaruhi persepsi dan pandangan khalayak sasaran sehingga kesan terhadap iklan itu tertanam kuat. Menurut Astrid S Susanto (1977), ide yang diajukan dalam iklan haruslah bersifat seleksi terhadap daya tarik yang dapat diberikan oleh barang atau jasa yang dianjurkan, yaitu motivasi daya menarik yang dapat menghubungkan kebutuhan individu (komunikan) dengan jasa atau barang yang dianjurkan.

Di dalam mal atau supermarket, akan tampak tebaran produk yang beraneka ragam, satu dengan lainnya saling berlomba daya tarik kemasan atau visual merchandisenya, hal ini membuat khalayak menjadi bingung untuk menentukan pilihannya. Akhirnya keputusan untuk menentukan pilihan produk (bila ia tidak punya brand minded) adalah dari referensi dalam benaknya. Berlakulah konsep, bahwa produk yang dipilih adalah produk yang memenangkan ‘battle of mind’ dalam diri khalayak. Selain dari faktor kualitas produk dan distribusinya, cara untuk memenangkan ‘battle of mind’ adalah dengan cara membuat produk mampu bertahan di posisi teratas dengan bantuan stimulistimuli yang menyentuh nuansa daya tarik calon konsumennya.

Produk consumer goods, misalnya rokok, yang di Indonesia diharamkan untuk ditampilkan baik kemasan ataupun pencitraan product in use, ternyata sudah memakai metode tersebut di atas. Banyak pendatang baru yang segmennya saling berbenturan, sebagian diantaranya cenderung mereka tidak mencari/menciptakan segmen baru, mereka menindih produk yang sudah ada dengan cara menyerang produk yang mapan sudah muncul terlebih dahulu. Misalnya, rokok PRINSIP yang ‘menyerang’ rokok 234 dengan slogan ‘prinsipku: kalau bisa no 1, buat apa nomor 2,3 atau 4’. Kondisi ini pada gilirannya menuntut para pengiklan untuk semakin kreatif menciptakan terobosan spektakuler dalam menciptakan citraan-citraan khusus bagi iklan rokoknya. Misalnya Marlboro dengan koboi; Lucky Strike dengan balapan/kecepatan; Star Mild dengan akal kreatifitas pengejawantahan konsep ‘losta masta’ yang merupakan plesetan dari kata low tar much star; Gudang Garam dengan dunia laki-laki yang keras, tangguh, pemberani, Bentoel dengan jiwa petualangannya; dan Longbeach, produk turunan dari produsen Marlboro khusus untuk kaum pekerja keras middle low yang kehidupannya penuh dengan rutinitas, sehingga perlu sublimasi dari ritme hidup yang monoton.

Eksploatasi wanita dalam iklan rokok antara lain dapat ditemui pada iklan rokok Djarum Super dan Mr Brown. Iklan rokok Djarum Super, era 90-an memakai slogan ‘nothing can separate a man and his Djarum’; Visualisasi iklan menggambarkan seorang pria peniup saxophone sedang beraksi dalam sebuah rumah bergaya postmo, sementara itu seorang wanita berbusana malam (nan cantik dan seksi) berjingkat-jingkat menaiki tangga rumah itu sambil menoleh kearahnya. Si pria tersenyum penuh arti. Bahasa key word ini mengandung dua makna. Pertama sebagai Jarum dalam pengertian brand name, kedua suatu citra tentang ‘alat penusuk’ dalam konsep lingga.

Pada iklan rokok Mr Brown versi yacht, tidak akan ditemui adegan orang merokok atau memegang bungkus rokok. Yang ditampilkan justeru kontes pakaian wanita, yang sarat wanita cantik dengan dikombinasi dengan ulah nakal angin laut yang menyibakkan gaun.

Menurut Guy Debord (dalam Piliang, 1995) masyarakat kapitalisme mutakhir adalah masyarakat tontonan, sehingga di dalam memproduksi komoditi harus disertai dengan memproduksi tontonan, dan tontonan ini dijabarkan sebagai materi-materi yang hadir dalam iklan, brosur, pameran, window display, hadiah kuis dan lain-lainnya. Masyarakat kapitalisme mutakhir adalah kaum yang berorientasi pada kepentingan ekonomi untuk memuaskan hasratnya yang semakin menggelembung dalam berbagai sisi kehidupannya. Sehingga, menurut Piliang (1998) ekonomi tidak lagi sekedar berkaitan dengan kegiatan pendistribusian barang-barang (hasil produksi) dalam suatu arena pertukaran ekonomi, akan tetapi sudah dikuasai oleh semacam libidonomics (nemein = mendistribusikan + libido = energi nafsu), yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran ekonomi. Transaksi yang dilakukan tidak hanya transaksi saham tetapi juga transaksi seksual, sampai kepada deregulasi tubuh, erotika ekonomi, produksi ekstasi, serta konsumsi ilusi dan halusinasi.

Ketika pengiklan menawarkan produk, sesungguhnya ia seperti menebarkan sebuah jaring. Ibarat ikan, khalayak diraih dengan berbagai cara. Kesadaran akan eksistensi produk dijalin dengan stimuli berupa pencitraan-pencitraan yang direkayasa yang menimbulkan pikatan secara seksual. Piliang (1998) memberi contoh , kini untuk memproduksi barang seperti shampo (relasi ekonomi) tidak lagi sekedar diiringi dengan memproduksi image dalam iklan (relasi komunikasi), akan tetapi juga memproduksi bujuk rayu, rangsangan, erotika (relasi seksual) secara bersama-sama. Hal yang akan terjadi kemudian adalah passionate capitalism (kapitalisme penuh nafsu), yakni kapitalisme yang mengumbar kegairahan untuk memperoleh keuntungan kapitalisme yang seperti layaknya mucikari mengubah nafsu (desire) menjadi kebutuhan (need).

Daya pikat komunitas citraan yang terbentuklah yang pada akhirnya menimbulkan sense dan pengalaman luar biasa dalam diri penikmat iklan. Mereka akan larut dalam ekstasi bujukan serta gelombang eksternal. Sensasi demikian akan membawa serta brand name produk dalam kesan yang terbentuk bersamaan dengan stimuli yang didapat. Terobosan seperti ini sering dipakai oleh pengiklan dengan memunculkan sesuatu yang baru, atau menurut Rakhmat (1992), pemasang iklan sering memanipulasikan unsur kebaruan ini dengan menonjolkan yang luar biasa dari barang atau jasa yang ditawarkannya. Media massa juga tidak henti-hentinya menyajikan program-program baru. Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan lepas dari perhatian.

Iklan Djarum Super versi peniup saxophone, Mr Brown versi yacht, Torabika Duo, Kondom Artika, makanan suplemen Machoman yang terkenal dengan jargon ‘nggak kuku deh’; adalah contaoh-contoh yang menawarkan kebaruan (terlepas dari sisi batasan etika eksploatasi wanita dan daya tarik seksualnya) dimana belum pernah ada kompetitor (baca produk sejenis dengan segmen yang seragam) yang melakukannya. Bukan mustahil, mereka menjadi pelopor sekaligus preseden bagi suatu kondisi degradasi kreatifitas, karena hanya memanfaatkan daya tarik wanita yang di presentasikan dengan cara-cara yang dikemas menurut selera (naluri) yang paling mendasar.

Menurut David Ogilvy (dalam Abidin, 1997) bahwa humor dan seks hanyalah tambahan agar lebih memberikan rangsangan khusus yang bisa dimasukkan dalam setiap tv comm. Tidak menjadi masalah apapun teknik yang dipakai, yang menjadi catatan disini adalah pengiklan harus hati-hati sebab mungkin saja semua itu mengaburkan pesan iklan Anda. Sebab khalayak lebih mengingat figur-figur jelita dan akting seronok yang ditampilkan ketimbang produknya, Jika ini terjadi berarti iklan gagal sebagai pesan yang harus diterima.

Dalam hal ini parameter yang digunakan oleh Ogilvy adalah dengan melakukan penghilangan tambahan ‘hiburan’. Apabila pesan utama pada tv comm tersebut masih layak sebagai tv comm maka tambahan ‘hiburan’ dapat mendukung strategi kampanye produk.

Ketika Artek Advertising membuat tv comm yang mengundang protes masyarakat (seperti pada produk Supertin ‘lho kok loyo’, jamu Kuku Bima TL dengan jargon ‘belum game kok udah keluar’ dan kopi Torabika Duo ‘pas susunya’), mereka punya asumsi bahwa untuk mengkomunikasikan pesan (baca brand aware) kepada khalayaknyaN harus menggunakan pendekatan yang sesuai dengan segmen target pasarnya.

Akibatnya kelompok masyarakat tertentu mencoba menggugat lewat dalih nilai-nilai etika. Polemik yang meluas membuat brand awareness produk terdongkrak secara luar biasa.

Kiat ini identik dengan ‘kasus’ sampul depan majalah Gatra yang memuat gambar Soeharto (waktu itu masih presiden) yang diparodikan sebagai figur king dalam citraan kartu bridge. Majalah Gatra ini laris manis karena edisi ini dilarang beredar. Sejak itu citraan Gatra melekat kuat di benak khalayak.

Hal ini juga ‘ditiru’ oleh majalah Popular, dengan foto ‘heboh’ Sophia Latjuba yang menghiasi sampul depan dan halaman tengahnya. Saking larisnya, sampai dapat ditemui di internet pada site-site khusus dalam bentuk gambar-gambar dengan format JPG. Khalayak akan terus ingat tentang majalah Popular edisi Sophia Latjuba, bahkan setelah itu mereka akan terus mengamati edisi-edisi selanjutnya, untuk menantikan ‘pengalaman’ serupa dari artis lain.

Iklan-iklan ‘bermasalah’ yang dianggap melanggar kaidah-kaidah kesopanan dan nilai-nilai etika secara tidak sadar ikut mempengaruhi kesan keberadaan produk karena khalayak justeru akan mengingat-ingat deviasi nya. Diskusi dan polemik yang muncul, akan lebih menguntungkan posisi brand name produk, karena dapat meloncat ke posisi yang lebih baik lagi di ingatan konsumen.

Dengan demikian akselerasi iklan menuju kepada tahap brand interest akan lebih cepat tercapai. Menurut Lucas dan Britt (dalam Susanto 1977), kegiatan periklanan yang termurah adalah pada fase AID yakni Attention – Interest - Desire, karena tahap-tahap ini merupakan fase psikologis pada pihak komunikan. 8 Tinggal sekarang bagaimana kualitas dan distribusi barangnya. Jika keduanya hebat, bukan mustahil akan menjadi pemimpin dalam segmennya.

Kegiatan periklanan termurah tadi, ditambah dengan deviasi cara penyampaian iklan-nya, dapat dimanfaatkan oleh pengiklan dengan mengurangi frekuensi penayangan, karena kuota kesadaran akan produk oleh khalayak telah tercapai. Otomatis biaya iklan akan lebih ringan, dan menguntungkan pengiklan. Dengan kata lain, biaya iklan sama, frekuensi sama namun kesadaran akan produk lebih tinggi.

INTERAKSI KEINTIMAN DAN DAYA TARIK KEJELITAAN
Iklan-iklan yang memanfaatkan figur wanita sebagai daya tarik, diklasifikasikan dalam dua kategori menurut tipe pendekatan keterlibatan wanita di dalam peranannya sebagai penarik pandang, yakni:

Keterlibatan dalam situasi tunggal
Hanya ada figur tunggal wanita tanpa melibatkan lawan jenisnya. Umumnya cara ini memanfaatkan wanita segi dari kejelitaan, kepopuleran, daya tarik, dan pesona figur wanita, termasuk di dalamnya sisi seksualnya. Iklan Sari Puspa tolak nyamuk, Fungiderm, permen karet Juicy Fruits versi dangdut, Kuku Bima versi jamu untuk pakde, bir Bintang versi wanita, dan Toshiba Flaitron, merupakan contoh iklan yang memanfaatkan sisi kejelitaan dan daya tarik seksual wanita, pada situasi tunggal. Di sini hanya sosok wanita saja yang dieksploitir. Sedangkan contoh-contoh lain dapat dijumpai pada Xon Ce versi Elma Theana (yang mengangkat namanya, sekaligus dengan jargon Xon Ce-nya mana?), kulkas Sharp versi Minati Atmanegara sedang senam, Sanken-nya Desi Ratnasari, dan Lux versi Desi, Nadya, Vira Yuniar, Tamara, AB Three, serta Nia Zulkarnaen. Untuk yang disebut terakhir ini ditengah peredarannya pernah ditarik untuk disensor karena pada salah satu adegan mandi terkesan seolah Nia Zulkarnaen membaluri Lux pada bagian tubuh yang tabu untuk diekspose. Untuk kategori makanan dan minuman kategori ini diwakili oleh produk teh Gunung Subur; teh Hijau dan Lemon Tea yang menampilkan Diana Pungki dan Jeihan Fahira. Contoh-contoh di atas merupakan iklan yang mengkombinasi kepopuleran model dengan daya tariknya sebagai wanita, suatu sosok ideal dalam imajinasi khalayak.

Keterlibatan dalam interaksi keintiman secara komplementer
Eksploatasi kejelitaan dan daya tarik seksual wanita dapat terjadi akibat interaksi dengan lawan jenisnya. Iklan jenis ini banyak contohnya, termasuk di dalamnya iklaniklan yang dianggap sebagai bentuk deviasi norma dan etika. Contohnya antara lain: Kondom Artika versi ‘meong’; Durex layanan masyarakat versi ‘cegah AIDS, gunakan kondom, masuk akal kan’; Balsem Cap Lang versi ‘sudahlah mas’; Salonpas versi ‘pas ngapel..pas pada pergi’; Rapet Wangi versi Devi Permatasari; Kopi Kapal Api versi ‘ulang tahun’; Permen Travela versi ‘kena di dada’; M 150 versi ‘arung jeram’; Rokok Mustang versi ‘kebakaran ranch’; Permen Relaksa versi ‘wanginya memang jodoh’; Tropicool versi ‘kulenyeer’; Suplemen Machoman versi ‘tak kuku’

Para passionate capitalism (meminjam istilah Piliang; 1998) mempunyai tugas menggali setiap rangsangan, getaran, dan hasrat ekonomi, serta memperhalusmeningkatkan daya kerja, daya tarik, dan daya pesona produk; meningkatkan mutu pelayanan, mutu kemasan, dan mutu pengirimannya; meningkatkan daya rangsang para cover girl yang menjadi bintang iklan produk tersebut; meningkatkan daya erotisme para salesgirl yang menawarkan produk yang dijual; serta meningkatkan daya sensual para modelgirl yang memamerkan produk yang ditawarkan di atas catwalk .9 Apa pun diluar seks kini diseksualitaskan. Misalnya iklan TOYOTA yang dilatardepani oleh seorang wanita seksi yang menantang, suatu kampanye politik yang disertai oleh para model yang semampai, suatu pameran pupuk urea yang dijaga oleh seorang wanita seksi, sebuah pertandingan olah raga yang dimeriahkan oleh para wanita penyorak 'economicus erotica'.

Wanita sebagai komoditi pemanis dengan terstruktur dikupas habis-habisan setiap lekuk dan moment-nya. Mulai ketika ia bangun tidur, mandi, kerja, buang air, berangkat tidur dan aktivitas di kamar tidur, bahkan sampai kepada hal yang paling intim sekalipun (contohnya, Rapet Wangi dan pembalut wanita Laurel). Sebuah diskriminasi dalam gender. Ketidakadilan ini semakin transparan, ketika produk-produk khusus pria yang notabene kaum hawa tidak berkepentingan, secara langsung tetap mengeksploitir wanita misalnya iklan rokok Mr Brown versi ‘yacht’, atau Machoman versi ‘nggak kuku, deh’).

Pada bahasa semiotika tubuh tersebut, produk menantang Claudia Schiffer, produk sensual = wajah sensual Madonna, produk klasik = wajah klasik Barbara Streissand, merupakan komoditi ekonomi. (Piliang, 1998).

Para bintang iklan telah mampu menghipnotis para penonton televisi. Apakah sebetulnya kepentingan mereka dalam ekonomi? Kepentingan utama yang diperlihatkan kekuasaan ekonomi terhadap tubuh atau wajah-wajah ini tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan daya kekuatan libidonya.

TATA KRAMA DAN MARTABATNYA

Menurut Rhenald Khasali (1992) iklan tidak bermaksud untuk menyakiti hati atau menyinggung perasaan publik. Namun seringkali hal itu tidak dapat dihindari karena kelompok calon pembeli yang terdiri atas banyak kelompok besar yang heterogen. Figur wanita sebagai penarik pandang jika tidak dikemas secara bijaksana akan berbenturan dengan rambu pelecehan martabat dan tata susila.

Iklan sebagai sebuah karya seni, merepresentasikan ideologi yang disebut ideologi visual, yang merupakan perpaduan elemen-elemen formal dan tematik tertentu. Dengan sarana itu seniman mengungkapkan dan mengkaitkan kehidupan mereka dengan kondisi eksistensi mereka. Di dalam proses penciptaan makna-makna dalam seni, Kristeva dan Barthes membedakan dua kategori makna, yaitu signifikasi dan significance. Signifikasi; adalah makna yang dikontrol dan dilembagakan secara sosial dan menjadi ideologi suatu masyarakat, sementara Significance; adalah makna yang bersifat subversif dan kreatif, yang merupakan dekonstruksi dari makna-makna konvensional/ideologis.

Seniman/desainer iklan memberi tempat bagi sikap hedonistik dalam proses karyanya, yakni kesenangan, kegairahan, dan ekstasi yang diakibatkan oleh lemahnya marjinalisasi konsep baik atau buruk, berguna atau sampah, bermoral atau amoral, berbudaya atau asusila yang selama ini dipaparkan dalam kancah kontradiksi logis dan konflik.

Sementara itu mereka terkungkung dalam gelombang hasrat masyarakat passionate capitalism yang menciptakan segala trik, dan strategi untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk kesenangan, dan setiap bentuk seksual sebagai kapital libido. Deviasi ini semakin komplit ketika dilakukan secara kolektif dan terstruktur oleh komunitas industri dan periklanan, sehingga Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia hanya tinggal sebagai sebuah konsep yang masih harus mencari penjabaran konkrit yang rigid dan dipatuhi tanpa pandang apapun, sebagai rambu-rambu yang menuntun menuju kepada kedewasaan periklanan di Indonesia.

KESIMPULAN

Mencerna sebuah iklan ternyata tidak semudah menikmatinya. Diperlukan ketajaman berfikir dan analisis, untuk memperoleh korelasi antara makna yang tersirat, yang sebenarnya hendak dibentuk oleh pengiklan dengan makna yang tersurat, yang tercipta lewat rekayasa citraan. Makna tersirat ini dikemas berdasar kondisi-kondisi tertentu yang biasanya berkaitan dengan rantai sistem penyampaian pesan (attention, interest, dan desire), serta dengan kualitas produk, kondisi demografi, posisi pesaing, dan karakter segmen.

Konsep tersembunyi ini didekonstruksi sedemikian rupa, serta mengalami deviasi ketika diterjemahkan kedalam bentuk sistematika mekanisme pesan iklan yang melibatkan elemen-elemen desain komunikasi dan audio visual.

Penggunaan pendekatan yang mengacu kepada bahasa semiotika tubuh wanita dan daya tarik seksualitasnya semakin menggejala. Apalagi ketika trobosan itu menjanjikan keuntungan yakni pesan menjadi lebih terekam dan produk semakin dicari karena dampak heboh iklannya. Akibatnya semua dimensi yang terlibat dan terkait dalam proses periklanan berlomba-lomba dalam euphoria kapitalisasi libido; setiap hasrat ekonomi diterjemahkan melalui lekuk tubuh, kecantikan dan daya tarik desire.

Ketika Tata Krama Periklanan Indonesia dapat disiasati dan menjadi norma-norma yang dapat ditafsirkan berbeda-beda, maka masa depan iklan indonesia bergantung kepada insan-insan pelaku iklan, dari creative director, visualizer, produser, sampai kepada produsen barang/jasa, serta khalayak, bahwa terdapat beberapa pilihan: mempertahankan idealisme, terpuruk dalam gelombang selera pasar, atau menciptakan trend baru yang lebih normatif dan santun.

Demikianlah artikel tentang Figur wanita sebagai penarik pandang dalam iklan yang dipublikasikan pada blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.

Friday, February 20, 2015

Teori-teori Hubungan Interpersonal

Ada sejumlah model untuk menganalisa hubungan interpersonal, diantaranya : Model Pertukaran Sosial, Model Peranan, Model Permainan, dan Model Interaksional.

Model Pertukaran Sosial ( Social Exchange Model )
Model ini memandang hubungan interpesonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibault dan Kelley, dua orang pemuka utama rari model ini, menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, "Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya." Ganjaran, biaya, laba, dan tingkat pebandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini.

Ganjaran adalah  setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial, atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran bebeda-beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. Buat orang kaya, mungkin penerimaan sosial ( social approval ) lebih berharga dari uang. Buat si miskin, hubungan interpersonal yang dapat mengatasi kesulitan ekonominya lebih memberikan ganjaran dari pada hubungan yang menambah pengetahuan.

Teori-teori Hubungan Interpersonal

Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat di dalamnya.

Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa dalam suatu hibungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mecari hubungan lain yang mendatangkan laba. Misalnya, anda mempunyai kawan yang pelit dan bodoh. Anda banyak membantunya, tetapi hanya sekedar supaya persahabatan dengan dia tidak putus. Bantuan anda (biaya) ternyata lebih besar daripada nilai persahabatan (ganjaran) yang anda terima. Anda rugi. Menurut teori pertukaran sosial, hubungan anda dengan sahabat pelit itu mudah sekali retak dan digantikan dengan hubungan baru dengan orang lain.

Tingkat perbandingan menunjukkan ukuan baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang. Ukuran baku ini dapat berupa pengalaman individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu, seorang individu mengalami hubungan interpersonal yang memuaskan, tingkat perbandingannya turun. Bila seorang gadis pernah berhubungan dengan kawan pria dalam hubungan yang bahagia, ia akan mengukur ganjaran hubungan interpersonal dengan kawan pria lain berdasarkan pengalamannya dengan kawan pria terdahulu. Mungkin bahagia ia pada hubungan interpersonal sebelumnya, makin tinggi tingkat perbandingannya. berarti makin sukar ia memperoleh hubungan interpersonal yang memuaskannya.

Model Peranan ( role model )
Bila model pertukaran sosial memandang hubungan interpersonal sebagai transaksi dagang, model peranan melihatnya sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan "naskah" yang telah dibuat masyarakat. Hubungan interpersonal berkembang baik bila setiap individu bertindak sesuai dengan expedisi peranan (role expectation) dan tuntutan peranan (role demands), memiliki keterampilan peranan (role skills), dan terhindar dari kata konflik peranan dan kekacauan peranan.

Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas, dan hal yang berkaitan dengan posisi tertentudalam kelompok. Guru diharapkan berperan sebagai pendidik yang bermoral dan menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya. Jenderal diharapkan berperan sebagai pembina tentara yang berani dan tegas. Suami diharapkan mencintai dan menghormati isterinya. Guru yang berbuat jahat, jenderal yang takut kecoak, suami yang memperbudak isterinya, tidak memenuhi ekspektasi peranan.

Tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memaksa individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat berwujud sebagai sanksi sosial dan dikenakan bila individu menyimpang dari peranannya.

Keterampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu. Kadang-kadang disebut juga kompetensi sosial (social competense). Disini sering dibedakan antara keterampilan kognitif dan keterampilan tindakan. Keterampilan kognitif menunjukkan kemampuan individu untuk mempersepsi apa yang diharapkan orang lain dari dirinya. Keterampilan tindakan menunjukkan kemampuan melaksanakan peranan sesuai dengan harapan-harapan ini.  Dalam kerangka kompetensi sosial, keterampilan peranan juga tampak pada kemampuan "menangkap" umpan balik dari orang lain sehingga dapat menyesuaikan pelaksanaan peranan sesuai dengan harapan orang lain. Hubungan interpersonal amat bergantung pada kompetensi sosial ini.

Konflik peranan terjadi bila individu tidak sanggup mempertemukan berbagai tuntutan peranan yang kontradiktif, misalnya seorang bapak yang berperan juga sebagai polisi untuk menangani perkara anaknya, wanita muda yang memainkan peran isteri, ibu, dan pengacara sekaligus; atau bila individu merasa bahwa ekspektasi peranan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya dan konsep diri yang dimilikinya. Agak dekat dengan konflik peranan ialah kerancuan peranan. Ini terjadi jika individu berhadapan dengan situasi ketika ekspektasi peranan tidak jelas baginya.

Model pemainan ( the "games people play" model )
Model ini berasal dari psikiater Eric Berne yang menceritakannya dalam buku "Games People Play". Analisisnya kemudian dikenal sebagai analisis transaksional. Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Mendasari permainan ini adalah tiga bagian keperibadian manusia yaitu Orang Tua, Orang Dewasa, dan Anak (Parent, Adult, Child). Orang Tua adalah aspek keperibadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita. Orang Dewasa adalah bagian keperibadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi, dan biasanya berkanaan dengan masalah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar. Anak adalah unsur keperibadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas, dan kesenangan.

Dalam hubungan interpersonal, kita menampilkan salah satu aspek keperibadian kita (Orang Tua, Orang Dewasa, Anak), dan orang lain membalasnya dengan salah satu aspek tersebut juga. Misalkan, suatu hari kita sakit; kita demam dan ingin meminta perhatian isteri kita pada penderitaan kita (ini keperibadian Anak). Isteri kita menyadari rasa sakit yang kita alami, dan ia mau merawat kita seperti seorang ibu (ini keperibadian Orang Tua). Hubungan interpersonal kita akan berlangsung baik. Transaksi yang terjadi bersifat komplementer. Bila isteri kita tidak begitu menghiraukan penyakit yang kita alami dan memberi saran,"Pergilah ke dokter. Aku sudah bilang kamu kecapaian." yang terjadi adalah transaksi silang (Anak dibalas dengan Orang Dewasa).

Model Interaksional ( Interactional Model )
Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu sistem. Setiap sistem memiliki sifat-sifat struktural, integratif, dan medan. Semua sistem terdiri dari subsistem-subsistem yang saling tergantung dan bertindak bersama sebagai suatu kesatuan. Untuk memahami sistem, kita harus melihat struktur. Selanjutnya, semua sistem mempunyai kecendeungan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan. Bila ekuilibrium sistem terganggu, segera akan diambil tindakannya. Dalam mempetahankan ekuilibrium, sistem dan subsistem harus melakukan transaksi yang tepat dengan lingkungannya (medan).

Hubungan interpersonal dapat dipandang sebagai sistem dengan sifat-sifatnya. Untuk menganalisanya kita harus melihat pada karakteristik individu-individu yang terlibat, sifat-sifat kelompok, dan sifat-sifat lingkungan. Setiap hubungan interpersonal harus dilihat dari tujuan bersama, metode komunikasi, ekspektasi dan pelaksanaan peranan, serta permainan yang dilakukan. Dengan singkat, model interaksional mencoba menggabungkan model petukaran, peranan, dan permainan.

Demikianlah artikel tentang Teori-teori Hubungan Interpersonal yang dipublikasikan pada blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.

Thursday, February 19, 2015

Atraksi Interpersonal

Dean C. Barlund, ahli komunikasi interpersonal manulis, "Mengetahui garis-garis atraksi dan penghindaran dalam sistem sosial artinya mampu meramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa pesan itu akan mengalir, dan lebih-lebih lagi bagaimana pesan akan diterima". Dengan bahasa sederhana berarti, dengan mengetahui siapa tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa, kita dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi. Makin tertarik kita kepada seseorang, makin besar kecenderungan kita berkomunikasi dengan dia. Kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang, kita sebut dengan atraksi interpersonal. Karena pentingnya peran atraksi interpersonal, kita ingin membicarakan faftor-faktor yang menyebabkan mengapa persona stimuli menarik kita. Di sini pun faktor personal dan situasional menentukan siapa tertarik kepada siapa. Sebenarnya kedua faktor ini dalam kenyataan sering tumpang tindih, sehingga pembagia di bawah ini hanyalah untuk memudahkan penjelasan saja.

Faktor-faktor Personal yang Mempengaruhi Atraksi Interpersonal
Kesamaan Karakteristik Personal
Katakanlah anda berjumpa dengan seorang kenalan baru. Percakapan anda berlangsung mulai dari masalah-masalah demografis ( tinggal dimana, apa pekerjaan ) sampai masalah-masalah politik. Anda mengatakan bahwa pembangunan kita cukup berhasil dengan menyajikan bukti-bukti yang relevan. Kawan anda berpendapat pembangunan kita gagal, dan membuktikannya pula dengan data. Percakapan lebih lanjut menunjukkan banyaknya perbedaan antara anda dengan dia dalam sikap, kepercayaan, dan kesenangan. Besar dugaan, anda tidak akan menyukai kenalan baru anda itu. Sebaliknya, bila dari obrolan itu diketahui anda dan kawan anda sama-sama senang tennis, sama-sama senang nonton acara olah raga, dan sama-sama lulusan dari sekolah keguruan, anda berdua akan saling menyukai.

Atraksi Interpersonal

Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama, ideologi, cenderung saling menyukai. eader dan English mengukur kepribadian subjek-subjeknya dengan rangkaian tes kepribadian. Diketemukan, mereka yang bersahabat menunjukkan korelasi yang erat dalam kepribadiannya. Penelitian tentang pengaruh kesamaan ini banyak dilakukan dengan berbagai kerangka teori.

Menurut teori Cognitive  Consistency dari Fritz Heider, manusia selalu berusaha mencapai konsistensi dalam sikap dan perilakunya. Kata Heider, kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita, dan jika kita menyukai orang, kita ingin mereka memilih sikap yang sama dengan kita.

Kita ingin memiliki sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, supaya seluruh unsur kognitif kita konsisten. Anda resah kalau orang yang anda sukai menyukai yang anda benci. Atraksi interpersonal merupakan gabungan dari efek keseluruhan interaksi di antara individu. Walaupun begitu, bagi komunikator, lebih tepat untuk memulai komunikasi dengan mencari kesamaan di antara peserta komunikasi.

Tekanan Emosional
Bila orang berada dalam keadaan yang mencemaskantatau harus memikul tekanan emosional, ia akan menginginkan kehadiran orang lain. Stanley Schachter membuktikan pernyataan di atas dengan sebuah experimen. Iamengumpulkan dua kelompok mahasiswi. Kepada kelompok pertama diberitahukan bahwa mereka akan menjadi subjek experimen yang meneliti efek kejutan listrik yang sangat menyakitkan. Kepada kelompok kedua diberitahukan bahwa mereka hanya akan mendapat kejutan ringan saja. Schachter menemukan di antara subjek pada kelompok pertama (kelompok yang tingkat kecemasannya tinggi), 63 persen ingin menunggu bersama orang lain, dan di antara subjek pada kelompok kedua hanya 33 persen yang memerlukan sahabat. Schachter menyimpulkan bahwa situasi penimbul cemas (anxiety-producing situations) meningkatkan kebutuhan akan kasih sayang. Orang-orang yang pernah mengalami penderitaan bersama-sama akan membentuk kelompok yang bersolidaritas tinggi.

Harga Diri yang Rendah
Elaine Walster membayar beberapa orang mahasiswi untuk menjadi pesrta dalam penelitian tentang kepribadian. Sesuai dengan rancangan penelitian, sebelum experimaen dimulai, subjek "secara kebetulan" berjumpa dengan seorang mahasiswa yang ingin bertemu peneliti. Terjadilah percakapan sambil menunggu kedatangan peneliti. Si mahasiswa menunjukkan minat yang besar pada mahasiswi itu, Mereka mengobrol selama 15 menit, dan sang perjaka berusaha untuk mengajak berkencan. Setelah itu, subjek diberi tes kepribadian. Sebagian sujek diberi penilaian yang positif (misalnya, kepribadian dewasa, orisional, dan sensitif), setengahnya lagi diberi penilaian negatif (misalnya, belum dewasa, antisosial, tidak memiliki bakat kepemimpinan). Maksud Wlaster, sebagian ditinggikan harga dirinya, sebagian lagi direndahkan. Kemudian, mereka diminta memberikan penilaian sejujur-jujurnya pada lima orang, termasuk laki-laki yang mengajak mengobrol. Ternyata, mahasiswi yang direndahkan harga dirinya cenderung lebih menyenangi laki-laki itu.

Menurut kesimpulan Walster, bila harga diri direndahkan, hasrat afiliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, dan ia makin responsif untuk menerima kasih sayang orang lain. Dengan kata lain, orang yang rendah diri cenderung mudah mencintai orang lain.

Isolasi Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, itu sudah diketahui orang banyak. Manusia mungkin tahan hidup terasing beberapa waktu, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Isolasi sosial adalah pengalaman yang tidak enak.

Beberapa orang peneliti telah menunjukkan bahwa tingkat isolasi sosial amat besar pengaruhnya terhadap kesukaan kita terhadap orang lain. Bagi orang yang terisolasi (narapidana, petugas di rimba, atau penghuni pulau terpencil), kehadiran manusia merupakan kebahagiaan. Karena manusia cenderung menyukai orang yang mendatangkan kebahagiaan, maka dalam kontek isolasi sosial kecenderungannnya untuk menyenangi orang lain bertambah.

Menurut teori Gain-loss, pertambahan perilaku yang menyenangkan dari orang lain akan berdampak positif pada diri kita. Bila anda disukai orang, anda mendapat ganjaran dalam interaksi sosial. Menurut Aronson, orang yang kesukaannya kepada kita bertambah akan lebih kita senangi daripada orang yang kesukaannya kepada kita berubah. Misalkan, saya mengatakan kepada anda,"Dulu saya tudak menduga anda cerdas. Kini, setelah saya mengetahui anda, saya bertambah kagum kepada anda." Menurut Gain-loss theory, anda akan menyenangi orang lainlebih dalam daripada orang yang kecintaannya kepada kita tidak berubah (rata saja).

Demikianlan artikel tentang Atraksi Interpersonal yang dipublikasikan pada blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.

Wednesday, February 18, 2015

Pengaruh Konsep Diri Pada Komunikasi Interpersonal

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai konsep dirinya. Bila seorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik. Jika seorang gadis merasa dirinya sebagai wanita yang menarik, ia akan berusaha berpakaian serapih mungkin dan menggunakan kosmetik yang tepat. Bila orang merasa rendah diri, ia akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada orang-orang yang dihormatinya, tidak mampu berbicara di depan umum, atau ragu-ragu menuliskan pemikirannya dalam media massa.

Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, anda akan benar-benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi. Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda. Hubungan kosep diri dengan perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berpikir positif; You don't think what you are, you are what what you think.

Pengaruh Konsep Diri Pada Komunikasi Interpersonal

Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri anda (positif atau negatif). Sebagai peminat komunikasi, sebaiknya kita mampu mengidentifikasikan tanda-tanda konsep diri yang positif dan negatif. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi sering kali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri yang negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif sangat responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpusa-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala mecam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan  apa pun dan sipa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.Inilah sifat ketiga, sikap hiperkritis. Keempat, orang yang konsep dirinya negatif cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan  kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres. Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal :
  1. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah.
  2. Ia merasa setara dengan orang lain.
  3. Ia menerima pujian tanpa rasa malu.
  4. Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
  5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Dalam kenyataan, memang tidak ada orang yang betul-betul sepenuhnya berkonsep diri negatif atau positif, tetapi untuk efektivitas komunikasi interpersonal, sedapat mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda-tanda konsep diri positif. D.E. Hamachek menyebutkan sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif :
  1. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
  2. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
  3. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
  4. Ia memilih keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
  5. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
  6. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
  7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.
  8. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
  9. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.
  10. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan, diri yang kreatif, pershabatan, atau sekedar mengisi waktu.
  11. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.
Kita agak banyak membicarakan konsep diri yang positif, karena dari konsep diri positiflah lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula. Komunikasi yang berkonsep positif adalah orang yang menurut M. Jourad tembus pandang, terbuka kepada orang lain.

Demikianlah artikel tentang Pengaruh Konsep Diri Pada Komunikasi Interpersonal melalui blog Psikologi Komunikasi, semoga bermanfaat untuk Anda.

Monday, February 16, 2015

Berpikir Kreatif

Berpikir kreatif diperlukan mulai dari komunikator yang harus mendesain pesannya, sarjana teknik yang harus merancang bangunan, ahli iklan yang harus menata pesan verbal dan pesan grafis, sampai pada pemimpin masyarakat yang harus memberikan perspektif baru dalam mengatasi masalah sosial.

Berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistik sangat jarang terjadi. Tetapi kebaruan saja tidak cukup. Anda dapat mengatasi kepadatan penduduk di kota dengan membangun rumah-rumah di bawah tanah. Ini baru, tetapi sukar dilaksanakan. Syarat kedua kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. Ketiga, kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin.

Ketika orang berpikir kreatif, jenis berpikir manakah yang paling sering dipergunakan: deduktif, induktif, atau evaluatif? Jawabannya: berpikir analogis. Berpikir induktif sering dipergunakan, justru karena tidak selogis berpikir deduktif. Berpikir evaluatif membantu kreativitas karena menyebabkan kita menilai gagasan-gagasan secara kritis.

Guilford membedakan antara berpikir kreatif dan tidak kreatif dengan konsep berpikir konvergen dan divergen. Jika anda ditanya, "Apa ibu kota Republik Indonesia?" Anda menjawabnya dengan berpikir konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban yang tepat pada pertanyaan yang diajukan. Jika anda ditanya, "Apakah perbedaan antara bank dan koperasi? Sebutkan sebanyak mungkin." Anda menjawabnya dengan berpikir divergen. Guilford berkata, orang kreatif ditandai pola berpikir divergen, yaitu mencoba menghasilkan sejumlah jawaban. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan, dan berpikir divergen erat kaitannya dengan kreativitas.

Berpikir Kreatif

Berpikir divergen dapat diukur dengan fluency, flexibility, dan originality. Bila anda dimintai menyebutkan kata-kata yang berakhiran 'si', anda diukur dari fluency anda. Jika jawaban anda bukan saja panjang, tetapi juga menunjukkan keragaman dan hal-hal yang luar biasa, maka anda memiliki skor yang tinggi dalam flexibility dan originality. Ukuran Gulford initelah dicobakan berkali-kali . Tetapi dengan sangat mengecewakan, skor yang tinggi pada ukuran Guilford sering tak berkolerasi dengan kreativitas sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Orang-orang kreativ malah berskor rendah.

Tes Guilford menurut pengkritiknya, memang tidak mencerminkan berpikir kreatif. Orang-orang kreatif ternyata berpikir analogis, mereka mampu melihat berbagai hubungan yang tidak terlihat oleh orang lain. Orang biasa juga sering berpikir analogis, tetapi berpikir analogis orang kreatif ditandai  oleh sifatnya yang luar biasa, aneh, dan kadang-kadang tidak rasional. Ada yang mengatakan bahwa orang kreatif biasanya agak gila. Baik orang gila maupun kreatif, memang mempunyai kesamaan berpikir yang tidak konvensional. Tetapi pikiran orang gila tidak menimbulkan pencerahan masalah. Orang kreatif melakukan loncatan pemikiran yang memperdalam dan memperjelas pemikiran.

George Lakoff dan Mark Johnson menjelaskan bagaimana pemikiran kreatif ini berhasil memperluas cakrawala pemikiran. Bila pemikir kreatif menganalogikan A dangan B, maka semua sifat Adipindahkan pada B, sehingga menambah kekayaan konseptual. Misalnya, "Cinta adalah karya seni hasil bersama." Mendengar ini, sifat-sifat karya seni bersama dipakai untuk menjelaskan cinta: Cinta itu hasil karya. Cinta memerlukan kompromi. Cinta itu pengalaman estetis. Cinta memerlukan disiplin. Cinta kreatif. Cinta tidak dapat diperoleh dengan rumus. Berpikir kreatif adalah berpikir analogis-metaforis.

Demikianlah artikel tentang Berpikir Kreatif yang saya posting pada blog Psikologi Komunikasi, semoga bermanfaat untuk Anda.