Advertisement
A. Percaya ( trust )
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, faktor percaya adalah yang paling penting. Bila saya percaya kepada anda, bila perilaku anda dapat saya duga, bila saya yakin anda tidak akan menghianati atau merugikan saya, maka saya akan lebih banyak membuka diri saya kepada anda. Sejak tahap yang pertama dalam hubungan interpersonal ( tahap perkenalan ), sampai pada tahap kedua ( tahap peneguhan ), "percaya" menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah, "percaya" didefinisikan sebagai "mengendalikan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko" ( Giffin, 1967:224-234 ). Defenisi ini menyebutkan tiga unsur percaya:
Yang pertama, ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi risiko. Risiko itu dapat berupa kerugian yang anda alami. Bila tidak ada risiko, percaya tidak diperlukan.
Yang kedua, orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
Dan yang ketinga, orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya. "Why am i afraid to tell you who i am" adalah judul buku yang ditulis oleh John Powell untuk melukiskan orang-orang yang berusaha menyembunyikan perasaan dan pikirannya pada orang lain.
Mengapa saya takut mengatakan kepada anda tentang siapa saya ? Mungkin karena saya takut bila saya menceritakan tentang siapa diri saya, anda tidak akan menyenangi saya. Ini menunjukkan tidak adanya unsur percaya. Saya ingin disenangi anda dan takut kehilangan simpati ( unsur pertama : risiko ), dan saya sadar bahwa simpati itu bergantung kepada anda ( unsur kedua ). Saya tidak yakin bahwa anda akan menyukai saya, bila saya membuka diri saya. Disini, "percaya" tidak ada karena unsur ketiga tidak ada.
Apakah untungnya kita percaya pada orang lain ? Pertama, "percaya" meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikasi untuk mencapai maksudnya. Jika anda tidak mau mengungkapkan bagaimana perasaan dan pikiran anda, saya tidak akan memahami siapah anda sebenarnya. Persepsi interpersonal saya tentang diri anda terganggu. Saya mungkin mempunyai penafsiran yang salah tentang diri anda. Tanpa percaya tidak akan ada pengertian. Tanpa pengertian terjadi kegagalan komunikasi primer. Kedua, hilangnya kepercayaan pada orang lain akan menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang akrab. Bila anada merasa kawan anda tidak jujur dan terbuka, anda pun akan memberikan respon yang sama. Akibatnya, hubungan akan berlangsung secara dangkal dan tidak mendalam. Keakraban hanya terjadi bila kita semua bersedia untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran kita. Jelaslah, tanpa percaya akan tumbuh kegagalan komunikasi sekunder.
Sejauh mana kita percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Menurut Deutsch ( 1958 ), harga diri dan otoritarianisme mempengaruhi percaya. orang yang harga dirinya positif akan cenderung mempercayai orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter canderung sukar mempercayai orang lain.
Sikap percaya berkembang apabila setiap komunikan menganggap komunikan lainnya berlaku jujur. Tentu saja sikap ini dibentuk berdasarkan pengalaman kita dengan komunikan. Karena itu sikap percaya berubah-ubah bergantung kepada komunikan yang dihadapi.
Ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya yaitu :
1. Menerima, adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan. Kita selalu cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya, hubungan interpersonal kita tidak berlangsung seperti yang kita harapkan. Bila kita tidak bersikap menerima, kita akan mengkritik, mengecam, atau menilai. Sikap seperti ini akan menghancurkan percaya. Orang enggan pula menerima kita, karena takut pada akibat-akibat jelek yang akan timbul dari reaksi kita. Sikap menerima menggerakkan sikap percaya, karena orang tahu kita tidak akan merugikan mereka.
Menerima tidaklah berarti menyetujui semua perileku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya. Menerima berarti tidak menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi. Betapapun jeleknya perilakunya menurut persepsi kita, kita tetap berkomunikasi dengan dia sebagai persona, bukan sebagai objek.
2. Empati, adalah faktor kedua yang menumbuhkan sikap percaya pada diri orang lain. Empati telah didefinisikan bermacam-macam. Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita ( Freud, 1921 ). Empati dianggap sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menganggap orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi ( Scotland, et al., 1978:12 ). Empati dianggap sebagai "imaginative intellectual and emotional participation in another person's experience" ( Benett, 1979 ).
Defenisi terakhir dikontraskan dengan pengertian simpati. Dalam simpati kita menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Bila saya melihat anda menangis karena kehilangan kekasih anda, saya mencoba membayangkan perasaan saya bila saya juga kehilangan kekasih. Saya beranggapan anda pun mempunyai perasaan seperti perasaan saya. Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Berempati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.
3. Kejujuran, adalah faktor ketiga yang menumbuhkan sikap percaya. Menerima dan empati mungkin saja dipersepsi salah oleh orang lain. Sikap menerima kita dapat ditanggapi sebagai sikap tak acuh, dingin dan tidak bersahabat. Empati dapat ditanggapi sebagai pura-pura. Supaya ditanggapi sebenarnya, kita harus jujur mengungkapkan diri kita kepada orang lain. Kita harus menghindari terlalu banyak melakukan "penopengan" atau "pengelolaan kesan". Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi yang dibuat-buat. Kita berhati-hati pada orang yang terlalu "halus" sehingga sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dan sikapnya dengan lambang-lambang verbal dan nonverbal. Kejujuran menyebabkan perilaku kita dapat diduga ( predictable ). Ini mendorong orang lain untuk percaya pada kita.
B. Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas, dengan sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain.
Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal ( ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif, dan sebagainya ) atau faktor-faktor situasional. Di antara faktor-faktor situasional adalah perilaku komunikasi orang lain.
Jack R. Gibb menyebutkan enam perilaku yang menimbulkan perilaku suportif yaitu :
1. Deskripsi, artinya penyampaian perasaan dan persepsi anda tanpa menilai. Deskripsi dapat terjadi juga ketika kita mengevaluasi gagasan orang lain, tetapi orang "merasa" bahwa kita menghargai diri mareka ( menerima mereka sebagai individu yang patut dihargai ).
2. Orientasi Masalah, adalah mengkomunikasikan keinginan untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah. Anda mengajak orang lain bersama-sama untuk menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
3. Spontanitas, artinya sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. Bila orang tahu kita melakukan strategi, ia akan menjadi defensif.
4. Empati
5. Persamaan, adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis. Dalam sikap persamaan, anda tidak mempertegas perbedaan. Status boleh jadi berbeda, tetapi komunikasi anda tidak verbal. Anda tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama. Dengan persamaan, anda mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan.
6. Provisionalisme, adalah kesediaan untuk meninjau kembali pendapat kita, untuk mengakui bahwa manusia adalah tempat kesalahan, karena itu wajar juga kalau suatu saat pendapat dan keyakinannya bisa berubah ( "Provisional", dalam bahasa Inggris artinya bersifat sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengkap ).
C. Sikap Terbuka
Sikap terbuka ( open-mindedness ) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme, sehingga untuk mamahami sikap terbuka, kita harus mengidentifikasikan dogmatisme.
Marilah kita melihat contoh-contoh yang lebih jelas dan karakteristik orang yang dogmatis atau berikap tertutup :
1. Menilai pesan berdasarkan motif pribadi.
Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika atau proposisi, ia lebih banyak melihat sejauh mana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumantasi yang objektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. "Pokoknya aku tidak percaya," begitu sering diucapkan orang dogmatis. Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam individu ( inner pressures ). Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.
2. Berpikir simplistis.
Bagi orang dogmatis, dunia ini hanya hitam dan putih, tidak ada kelabu. Ia tidak sanggup membedakan yang setengah benar setengah salah, yang tengah-tengah. Baginya kalau tidak salah, benar. Tidak mungkin ada bentuk antara. Dunia dibagi dua : yang pro-kita di mana segala kebaikan terdapat, dan kontr-kita di mana segala kejelekan berada.
3. Berorientasi pada sumber.
Bagi orang dogmatis yang paling penting ialah siapa yang berbicara, bukan apa yang dibicarakan. Ia terikat sekali pada otoritas yang mutlak. Ia tunduk pada otoritas, karena ( seperti umumnya orang dogmatis ) ia cenderung lebih cemas dan mempunyai rasa tidak aman yang tinggi.
4. Mencari informasi dari sumber sendiri.
Orang-orang dogmatis hanya mempercayai sumber informasi mereka sendiri. Mereka tidak akan meneliti tentang orang lain dari sumber yang lain. Pemeluk aliran agama yang dogmatis hanya mempercayai penjelasan tentang keyakinan aliran lain dari sumber-sumber yang terdapat pada aliran yang dianutnya.
5. Secara kaku mempertahankan dan membela sistem kepercayaannya.
Berbeda dengan orang yang terbuka yang menerima kepercayaannya secara provisional, orang dogmatis menerima kepercayaannya secara mutlak. Orang dogmatis khawatir, bila satu butir saja dari kepercayaan yang berubah, ia akan kehilangan seluruh dunianya. Ia akan mempertahankan setiap jengkal dari wilayah kepercayaannya sampai titik darah penghabisan.
6. Tidak mampu membicarakan inkonsisten.
Ia menghindari kontrdiksi atau benturan gagasan. Informasi yang tidak konsisiten dengan desakan dari dalam dirinya akan ditolak, didistorsi, atau tidak dihiraukan sama sekali.
Agar komunikasi interpersonal yang kita lakukan melahirkan hubungan interpersonal yang efektif, dogmatisme harus digantikan dengan sikap terbuka. Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai, dan ( paling penting ) saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment