Tuesday, October 1, 2013

SIMBOL BUDAYA SEBAGAI REPRESENTASI POSITIONING DALAM IKLAN PRODUK MOBIL EROPA DAN MOBIL JEPANG

Advertisement
Dalam salah satu iklan televisi produk mobil untuk keluarga diilustrasikan sekelompok orang kaukasus berpakaian ala analis laboratorium sedang meneliti dengan sesuatu objek mikroskopnya. Di dalam mikroskop tampak kehidupan manusia seperti dunia nyata. Digambarkan sebuah keluarga mapan yang bahagia sedang beraktivitas dengan sebuah mobil keluarga. Ketika membaca merek mobil, si ilmuwan berang menggebrak meja sambil berteriak “japanese!”. Air dalam gelas si ilmuwan tumpah terciprat kemana-mana.

Sebuah sedan hitam menyusuri jalan di salah satu pelosok Jepang melewati sosok wanita berbusana geisha, rumah adat, tumbuhan sakura, serta jalan-jalan berhiaskan lampion khas tradisional negeri tersebut. Sedan itu berhenti di sebuah gedung olahraga berarsitektur Jepang, digambarkan seorang pesumo besar, kokoh, menanti lawannya di tengah arena. Wajah pesumo berubah kaget dan heran ketika lawan yang dihadapi adalah seorang pria kaukasus, kerempeng, dengan wajah berkesan tolol, masa bodoh, bertelanjang dada dengan celana panjang digulung sebatas lutut. Iklan ditutup dengan narasi “Peugeot..Sure!”


Dua contoh iklan yang penayangannya cukup gencar di stasiun-stasiun televisi Indonesia tersebut memvisualkan tentang adanya persaingan antara mobil buatan Jepang dengan buatan Eropa. Kedua iklan ini ditayangkan pada periode bersamaan. Dengan pendekatan menarik dan unik iklan tersebut mampu menciptakan kesan tentang keberadaan merek mobil serta merepresentasikan persaingan simbolik antara negara penghasil produk tersebut, tanpa meninggalkan kesan persaingan antar kedua produk.

SIMBOL BUDAYA SEBAGAI REPRESENTASI POSITIONING DALAM IKLAN PRODUK MOBIL EROPA DAN MOBIL JEPANG
Dengan pendekatan komunikasi interpersonal yang didesain sedemikian rupa, sebuah iklan dapat menciptakan berbagai kesan tertentu menurut tingkat kedalaman sintesis khalayaknya. Iklan mempunyai makna tersirat dan tersurat, yang kaya akan pesan semiotik. Tulisan ini membahas iklan sebagai karya komunikasi visual menurut aspek ekspresifistik (apa yang dibicarakan oleh iklan) dan instrumentalistik (apa dampak dan fungsi iklan). Membandingkan kedua iklan produk negara industri otomotif yang saling bersaing, samping pendekatan posisioning dari simbol budaya, representasi dan telaah strukturalis yang mewakili bentuk iklan Peugeot, dan post strukturalis yang dipakai di iklan Suzuki Karimun.

PROSES IDENTIFIKASI DALAM MENCIPTAKAN IKLAN DI MEDIA TELEVISI


Secara tersurat, kedua iklan tersebut secara umum menciptakan image akan keberadaan mobil produk Jepang dan Eropa. Secara tersirat, iklan tersebut menggambarkan persaingan antara dua merek kendaraan roda empat. Sebagaimana era positioning, sebuah merek menjadi begitu penting dan berperan menjadi daya pikat produk. Merek menjadi ikon yang diterjemahkan secara kreatif, lepas dari realitas, menciptakan citraan atau realitas semu sehingga batas antara kenyataan dan imajinasi menjadi kabur; panggung lakon namun bukan tidak jelas.


Suzuki dan Peugeot merupakan merek yang terkenal yang telah menciptakan kondisi brand mature, bahkan fase brand loyalty. Merek terkenal yang sudah menduduki fase tersebut di dalam periklanannya menjadi sangat ‘bebas’, artinya pengiklan mudah mengkaitkan dengan hal-hal tertentu, atau hal-hal apapun, yang bahkan secara implisit tidak berhubungan langsung dengan produk, sehingga di dalam memahami pesan iklan produk-produk yang demikian membutuhkan pemahaman lanjut, karena harus mensintesiskan dahulu dengan berbagai hal. Konsekuensinya, diperlukan ekstra waktu dan frekuensi tayang agar iklan dapat dipahami oleh khalayak awam, sebab tidak mudah menghubungkan antara kejengkelan seorang ilmuwan ketika melihat brand produk Jepang dalam iklan Suzuki Karimun dengan karakter konyol seorang kerempeng yang menghadapi raksasa Sumo pada iklan Peugeot, serta menghubungkan bahwa di dalamnya terdapat persaingan merek mobil.


Iklan, terlebih merek produk mapan, tidak dibuat secara serampangan, namun melewati serangkaian fase yang lazim disebut sebagai identifikasi, persiapan, produksi dan evaluasi. Identifikasi merupakan sebuah proses berdasar asumsi realitas untuk menemukan pola pendekatan komunikasi yang dipakai. Setiap gejala, perilaku klien, kehendak masyarakat, dan wacana ditelaah serta menjadi acuan untuk menemukan metode, cara dan bentuk komunikasi yang paling efisien dan efektif, apalagi komunikasi yang akan diciptakan merujuk gagasan yang persuasif. Kreator iklan (komunikator) dituntut untuk mampu menemukan segi penting dan mendasar yang akan digunakan sebagai rujukan yang merepresentasikan kehendak dan pola pikir khalayak (sebagai komunikan). Hal ini dilakukan agar komunikasi yang diciptakan menjadi efektif. Komunikator dituntut menciptakan desain komunikasi yang dimengerti secara formal namun juga mampu dipahami secara kontekstual oleh khalayak sasarannya.


Merujuk pada pendapat Tibor Kalman (1999) mengenai proses mendesain dalam kaitannya dengan menciptakan komunikasi persuasif adalah: ”Invention and styling. We need a lot more of the former and a lot less of the latter”. Pendekatan pola dan gaya menjadi bagian yang menentukan dari upaya menemukan solusi komunikasi yang paling efektif dan efisien. Kegiatan mendesain pesan komunikasi persuasif merupakan penterjemahan kegiatan kolaborasi berbagai informasi guna pemerolehan solusi untuk preskripsi yang lebih baik.


Sebagai merk yang terkenal, maka pendekatan beriklannya harus konsisten dalam merepresentasikan mutu dan kredibilitas; berbeda dengan merk yang belum terkenal, yang tidak memakai pendekatan posisioning yang jelas dan konsisten sehingga kampanye iklannya sering rancu dan tidak berkesinambungan. Sebaliknya produk yang iklannya tidak konsisten merepresentasikan mutu dan kredibilitas akan menimbulkan persepsi yang ambigu, akibatnya produk menjadi tidak terkenal. Kredibilitas ini menjadi komponen kognitif dan affektif sekaligus, yakni berfikir dan merasakan. Melalui pendekatan terhadap cara berfikir dan bersikap konsumen yang dikembangkan oleh Foote, Cone & Belding, maka pendekatan beriklan produk demikian disebut pendekatan yang efektif karena mempunyai keterlibatan pikiran tinggi dan perasaan sekaligus, serta berkaitan dengan masalah pemenuhan self esteem, dan ego. Pendekatan ini lebih spesifik karena mengajak konsumen untuk tidak sekedar membeli mobil namun juga menikmati dengan kepuasan ketika mengendarai mobil tersebut untuk berkunjung ke rumah saudara, pulang kampung, bahkan bertamasya dengan keluarga.


Dalam konsep positioning, iklan merupakan proses pembentukan (bahkan pengubahan) citra. Iklan memerlukan visualisasi dan citraan sebagai alat untuk memudahkan penggambaran tema, kondisi, situasi, dan cita-cita yang diharapkan pengiklan. Citraan yang terseleksi oleh media televisi ditampilkan bagaikan realitas. Menurut Gerbner (dalam Rakhmat 1992) televisi mempunyai pengaruh yang mampu menggiring khalayak untuk mempercayai, bahkan memandang bahwa dunia citraan dalam tayangan televisi adalah nyata; televisi merupakan media yang mampu mengubah kehidupan. Televisi sebagai media massa cenderung lebih mengakomodir sesuatu yang bersifat ‘sedang terjadi’ dan seringkali malah melebihkannya. Televisi telah berkembang pesat menjadi realitas kedua (Arthur & Cook dalam Martadi, 2003). Dengan sifat audio dan visualnya yang sinergis, pengaruh televisi mampu menggiring ke dalam suasana seakan bagian dari kehidupan nyata, dan bukan citraan.


Realitas citraan yang diolah sedemikian rupa menjadi hiper-realitas, oleh media ditonjolkan (conferral) sebagai hal yang penting dan menjadi sentral publikasi. Terbentuklah kemudian apa yang disebut oleh Emil Dofivat sebagai stereotip. Dalam iklan Suzuki Karimun orang kaukasus misalnya, digambarkan sebagai komunitas yang dominan yang mengatur kehidupan, dan menolak jika ada hal-hal bersifat inovatif yang dilakukan oleh kelompok di luar mereka.


Identifikasi dalam konteks perancangan iklan menuntut kepiawaian kreator untuk dapat memahami, mengarahkan, dan mengajak khalayak untuk mempersepsikan, berfikir, dan mencitrakan sesuatu. Dalam iklan mobil tersebut, kreator mengajak masyarakat untuk melihat dengan gaya pendekatan testimonial. Karena seorang ahli, ilmuwan, atau peneliti termasuk sosok profesional yang sering tidak dimungkinkan dipakai sebagai model iklan, maka digunakan pendekatan figur yang dapat dipersepsikan khalayak sebagai ilmuwan dan peneliti, hal ini merupakan penyimpangan dari Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Figur yang memakai jas laboratorium dapat dipersepsikan sebagai sosok ilmuwan (asli) dan bukan model (citraan), sehingga dapat meningkatkan skor perhatian dan kualitas produk.


SIMBOL BUDAYA , ANTARA REALITAS DAN CITRAAN


Menurut Baudrillard dalam Simulation (1983) kondisi hiper-realitas ditandai oleh runtuhnya petanda, ideologi, dan lenyapnya realitas sehingga muncullah suatu fantasi pengganti realitas, penyangkalan dan pemusnahan ritual. Realitas diganti reproduksi objek-objek yang tidak mempunyai realitas sosial, berupa fantasi, fiksi, dan halusinasi yang dikolaborasikan secara luar biasa sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur. Karakter ilmuwan dan citraan tentang dunia mikro pada iklan Suzuki Karimun yang paralel dengan citraan dunia makro dalam iklan tersebut menjadi sesuatu yang hiper-realisme.


Bangsa Barat sering digambarkan sebagai bangsa dengan peradaban yang serba hebat. Walau konsep ini dapat diperdebatkan, namun wacana cauvinisme hegemoni dunia Barat tentang stereotipe keunggulan ras, penemu, periset atau para inventor telah berlangsung lama. Karena itu, sukar diterima bahwa produk Asia ternyata lebih unggul. Para pemikir, seperti Foucault dan Derida, terlibat dalam diskusi yang menggugat bagaimana sebenarnya dunia didefinisikan oleh dunia Barat (occident) dan Timur (orient). Pada perkembangan berikutnya, muncul kritik tajam terhadap konstruksi dunia yang diperspektifkan demikian. Tatanan Barat sebagai sentris ini pada gilirannya digugat sehingga Timur berhak menentukan dan mendefinisikan dirinya sendiri. Selanjutnya, muncullah pluralisme, yang mengakui hasil serta menghargai peradaban kebudayaan Timur yang tidak harus tunduk pada kriteria estetik Barat.


Sejalan dengan itu, konsep ekonomi global telah membuka perspektif baru yang menerima perbedaan-perbedaan dunia. Pluralisme dalam bidang teknologi menjadi semakin transparan ketika produk-produk Asia membanjiri negara-negara Eropa dengan konsep ekonomis namun fungsional. Persaingan antar produk yang membawa filosofis serta keunikan spesifik telah berkembang menjadi fenomena baru perekonomian dunia. Pada perkembangan lebih lanjut, kedua posisi ini berkolaborasi untuk menciptakan teknologi yang maksimal, dan menjadi kekuatan serta ciri spesifik keunikan yang merepresentasikan peradaban Barat dan Timur, misalnya yang tercermin pada produk Toyota dan Peugeot.


Iklan Suzuki Karimun menggunakan figur seorang ilmuwan, sedangkan iklan Peugeot menggunakan figur pesumo. Secara pendekatan teknik visual, kedua model iklan ini menggunakan pendekatan testimonial. Iklan Suzuki Karimun menggunakan figur yang bukan menunjuk kepada sosok publik figur. Tampaknya, hal ini bertolak dari konsep seperti yang dinyatakan oleh Laskey dkk (1989) bahwa ketenaran seseorang tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap pengaruh kepercayaan khalayak pada produk yang diiklankan secara testimonial, yang penting iklan tampil wajar dan alamiah serta penonjolan nama produk yang diekspose.


Walaupun tidak menggunakan pegulat Sumo asli, karakter Sumo merepresentasikan kekuatan, kekokohan dan figur pahlawan di Jepang (salah satu poster propaganda Jepang di Perang Dunia ke 2 adalah figur Minamoto sebagai pegulat sumo yang menerima panggilan perang). Bahasa simbolis yang hendak disampaikan adalah sebuah “tradisi dan budaya yang kokoh dan kuat”. Kokoh dalam arti fisik sekaligus representasi hegemoni raksasa industri otomotif Asia, konsisten di dalam mempertahankan tradisi serta budaya. Representasi karakter Sumo menjadi suatu lokal genius yang menggambarkan tipikal Jepang. Simbol kekuatan dari bahasa local genius tersebut menjadi makna representatif iklan ini. Fenomena ini menggambarkan betapa sebuah idealisme budaya tradisional diadaptasikan oleh sistem budaya massa dan berubah fungsi menjadi komoditi dagang, sebuah tindakan sosial yang berdasarkan makna budaya; makna ini mampu dicerna dengan syarat khalayak mampu memahami konteks budaya fenomena (yang dikembangkan oleh Max Weber dalam teori interpretasinya).


Para penganut strukturalisme cenderung melihat bahwa iklan adalah refleksi dari realitas konkret. Karena berupa refleksi, iklan tidak boleh memperlihatkan kondisi tidak nyata. Bagi para pemaham semiotik strukturalis, iklan merupakan cerminan dari realitas sosial, hasil dari referensi sosial. Akibatnya iklan yang tidak jujur membohongi dan akan ditinggalkan khalayaknya. Nugroho (2002) mencontohkan iklan mobil yang menjanjikan kebahagiaan keluarga batih (extended family), dengan daya angkut maksimal mobil tersebut. Dalam iklan tersebut realitas keluarga batih masih ada, namun kebohongannya adalah membujuk khalayak untuk membeli agar keluarga batih berbahagia, padahal tolok ukur kebahagiaan keluarga batih tidak semata dari pembelian mobil tersebut. Dalam adegan iklan sering muncul beragam objek dan gagasan yang ditampilkan, dengan visualisasi yang dapat sangat luas dan berbias dalam konteks objektivitas maupun subjektivitas.


Sementara itu, para penganut metode interpretasi menegaskan bahwa metode strukturalis cenderung membuat pemahaman yang beku dan dogmatis atas realitas sosial. Para pemikir aliran post-strukturalis sepaham bahwa iklan tidak berawal dari realitas sosial, namun menjadi simulasi yang tercermin dalam citraan-citraan, selanjutnya citraancitraan ini membentuk realitas sosial yang hyper yang dapat berujung pada pembentukan hasrat ekonomi libido, yang berkembang antara lain dengan fenomena gila berbelanja (shopaholic ). Salah seorang tokoh post-strukturalis, Baudrillard, menciptakan istilah ‘simulacrum’ yakni penciptaan melalui model-model dunia nyata.


Pertentangan subjektivitas dan objektivitas selanjutnya secara eklektik digunakan untuk memahami iklan, sehingga merupakan jalan tengah yang mengakomodir pemahaman kode semiotik dalam fenomena iklan. Untuk itu perlu dikaji pengaruh timbal balik antara simulasi (citra) dengan realitas konkret. Iklan tidak hanya citraan-citraan tetapi juga bukan semata-mata merujuk pada realitas bebas dari situasi sosial.


Figur pesumo, misalnya menjadi sistem tanda visual penting yang universal yang mengkomunikasikan informasi tanpa tergantung tanda verbal yang mengharuskan penguasaan elemen-elemen verbal. Dengan demikian, figur pesumo menjadi ikon yang merepresentasikan gagasan, keinginan, dan situasi riil kehebatan dan kekuatan industri otomotif Jepang Pegulat sumo dipakai sebagai sebuah gambar presentatif teknologi otomotif Jepang yang kuat, kokoh, hebat, besar dan menguasai dunia. Arena pertandingan pegulat sumo bagai persaingan pasar dan penonton pertandingan itu bagai representasi khalayak konsumen mobil. Brand atau merek adalah alat untuk menciptakan dan mengendalikan persepsi konsumen.


Sosok pria kaukasus yang digambarkan dalam arena sumo melawan raksasa Jepang diilustrasikan sebagai sosok yang ‘tipikal perancis’ gaya santai dengan celana panjang digulung, cuek , dan seakan tidak peduli lawan yang besar. Pria tersebut mengendarai sedan Peugeot 307, seolah dengan sedan tersebut dia siap melawan sang raksasa. Bahasa iklan tersebut menyiratkan kekuatan dan kehandalan merek Peugeot yang diakui. Bahasa iklan tersebut menyiratkan sebuah kemenangan keunggulan produk Eropa di kancah persaingan merek mobil.


Di dalam konsep posisioning, pengiklan bebas menerjemahkan ide-ide yang membangun citra merek dalam benak khalayak. Begitu bebasnya hingga menggunakan berbagai pendekatan, tak terkecuali melalui pendekatan model hyper-realis dan situasi simulacrum. Dunia pemasaran dan periklanan kontemporer sedang berlangsung, paradigma lama sedang berlalu; paradigma baru sekarang mendudukkan merek sebagai suatu komoditas yang harus diciptakan.


Salah satu strategi posisioning menurut Aacker dalam bukunya Positioning Your Product seperti yang dikutip Kasali adalah “posisioning memakai simbol budaya”. Asumsi mendasar mengapa iklan produk mobil harus memakai simbol budaya adalah karena iklan tersebut mewakili karakter atau tipikal khas negara produsennya, dan ini dihubungkan dengan keunggulan produk. Menurut O’Sullivan (dalam Noviani, 2002), representasi mempunyai dua pengertian yakni sebagai proses sosial dari representing, dan produk dari proses sosial representing, yang pertama mengacu kepada proses, sedangkan yang kedua sebagai produk pembuatan tanda yang mengacu pada sebuah makna.


Dalam strategi posisioning pemakaian simbol budaya pada iklan Peugeot memerlukan simbol presentasi yang mengacu pada karakter tertentu yang khas, unik atau spesifik yang dapat dipersepsikan sebagai kokoh, kuat, Timur, serta tradisional. Demikian pula figur ilmuwan kaukasus yang dipakai sebagai proses untuk menggeneralisasikan konsep Barat sentris adalah sebuah proses sosial; sebuah proses di mana sosok atau figur menjadi sebuah gagasan yang aplikatif yang sengaja diciptakan sebagai pendekatan beriklan. Sumo dan ilmuwan kaukasus yang dipakai sebagai presentasi menjadi ikon yang merepresentasikan gagasan yang mengacu pada pembentukan makna umum.


Sebagai sebuah produk pembuatan tanda, proses sosial menjadi alat untuk mengarahkan opini (yang sengaja dibentuk dari realitas) agar publik tergiring pada pemahaman bahwa sumo adalah Jepang, jagoan teknologi otomotif dari Timur. Demikian pula figur ilmuwan kaukasus menjadi ikon tentang dominasi Barat.


Ada tiga elemen yang terlibat dalam representasi, pertama, sesuatu yang direpresentasikan (disebut sebagai objek); kedua, representasi itu sendiri (disebut sebagai tanda); ketiga adalah seperangkat aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok persoalan (disebut coding) yang berfungsi sebagai pembatas makna-makna yang mungkin muncul dalam proses interpretasi tanda. Sesuatu yang sangat esensial dari sebuah tanda adalah ia dapat menghubungkan objek untuk diidentifikasi, sehingga biasanya satu tanda hanya mengacu pada satu objek, atau satu tanda mengacu kepada kelompok objek yang telah ditentukan secara jelas. Dengan demikian, di dalam representasi ada sebuah kedalaman makna. Representasi mengacu kepada sesuatu yang sifatnya orisinal.


Dalam iklan Suzuki Karimun dan Peugeot makna presentasi menggunakan pola pendekatan posisioning menurut simbol budaya menjadi sesuatu yang menuntut kedalaman berfikir khalayak untuk mencerna makna iklan sebagaimana maksud pengiklan. Stimuli pada iklan tersebut menjadi sesuatu yang khas, sebab memungkinkan terjadinya beragam interpretasi dari figur sumo dan sosok ilmuwan kaukasus.


Walaupun sering terjadi keberagaman interpretasi terhadap representasi iklan, khususnya perbedaan pendapat/kajian kaum post strukturalis dengan strukturalis, pemakaian figur/model/citraan/representasi visual iklan tetap dipakai sebagai bagian tak terpisahkan dari cara beriklan modern. Sebab menciptakan citraan dan tanda, khususnya sebagai bagian dalam rangka membentuk dan mengarahkan opini khalayak, tetap menjadi cara yang ampuh. Pendekatan posisioning produk melalui simbol-simbol budaya yang dilakukan pada iklan Suzuki Karimun dan Peugeot memaparkan bahwa kedua iklan tersebut dipengaruhi oleh realitas sosial yakni sedan Eropa yang mampu mengalahkan dominasi Jepang serta gambaran/anggapan tentang hegemoni Barat/Eropa yang mulai bergeser ke Timur (baca Jepang) sebagai realitas era globalisasi dan pluralisme, sementara itu kedua simbol yang diciptakan pengiklan ini menjadi alat untuk menciptakan persaingan antar kedua merek mobil, sekaligus sebagai visualisasi persaingan industri otomotif antar belahan dunia tersebut.


KESIMPULAN :


Iklan menjadi suatu diskursus yang banyak dibicarakan karena ternyata mengandung representasi tidak sesederhana gambar figuratif yang gampang dinikmati khalayak. Sebuah visualisasi bermakna beragam, sarat akan simbol dan makna dan kadangkala menjadi subjektif sebab bergantung kepada frame of reference khalayak. Kedua iklan mobil produk Jepang dan Eropa yang diperbandingkan dalam artikel ini menjadi diskursus pendekatan strategi posisioning dari sisi budaya, sebagai salah satu alternatif kreativitas periklanan modern. Iklan tersebut menjadi sebuah visualisasi yang merefleksikan realitas yang terjadi antara dua produk, yang masing-masing mewakili tipikal budaya, yang saling berkompetisi sekaligus mewakili bentuk pendekatan yang mengacu kepada bentuk iklan yang mengedepankan bahasa tanda yang sengaja diciptakan, sebagai sebuah proses untuk menciptakan citra produk pada benak konsumen.


Sebagai sebuah komunikasi massa, iklan idealnya mampu mengkonstruksi pesan yang mewakili dan merepresentasikan kedalaman taraf berfikir khalayak, mengingat sekarang sudah dimulai era merek. Bahwa produk akan diingat melalui citra/kesan/impression yang efektif. Sebagai sebuah pesan, iklan harus mampu menjembatani kebutuhan komunikasi antara pengiklan dengan khalayak dalam konteks kesamaan stock of knowledge. Sebagai sebuah representasi kesan, iklan harus mampu mengakomodir impresi yang berkaitan dengan produk, yang mereproduksi tanda sehingga merupakan produk dialektika antara perilaku manusia dengan struktur sosial. Apabila hal tersebut tidak dilandasi dengan olah berfikir, maka sia-sialah iklan tersebut, walaupun dikemas dengan pendekatan yang menarik perhatian, sebab menjadi subjektif sifatnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip pokok pendesainan iklan sebab iklan adalah komunikasi citraan yang bermuatan ideologis untuk menciptakan wacana, merubah konsepsi, bahkan melawan nilai-nilai yang secara dominan berlaku dalam masyarakat.


Psikologi Komunikasi
Share this article to your friends :
DMCA.com Protection Status

0 comments: