Sunday, December 8, 2013

Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa

Advertisement
Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya ( stimuli menjadi teladan untuk perilakunya ). Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televisi. Wanita juga meniru potongan rambut Lady Di yang disiarkan media massa. Selanjutnya, kita juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula ( dengan kata lain, mendorong orang menjadi agresif ). Benarkah media massa menggalakkan agresi ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, untuk membentuk pengertian yang sama, marilah kita definisikan dahulu agresi sebagai “ setiap bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang menghindari perlakuan seperti itu “ ( Baron dan Byrne, 1979 : 405 ). Kita juga akan membatasi uraian kita pada efek dengan kekerasan dalam televisi ( atau film ) terhadap perilaku agresif penontonnya. Kebetulan pada bidang inilah banyak dilakukan studi tentang efek media pada agresi.

Dalam film ( televisi ) sering disajikan adegan pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, dan sebagainya, yang merusak atau mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya dianggap sebagai bagian yang “ ramai “ dari penyajian film. Penonton menyukainya, dan produser tentu saja menyukainya pula. Bersama dengan adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing penonton yang paling manjur. Akibatnya, persentase film-film sejenis itu semakin meningkat.

Di Amerika Serikat, sejak tahun 1950-an para peneliti tertarik pada hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton dengan agresi. Penelitian ini sebahagian lahir karena kecemasan akibat meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Analisis isi televisi yang dilakukan George Gerbner ( 1978 ) memang menemukan proporsi adegan kekerasan yang “ larming “ ( menakutkan ) yaitu berkisar antara 80 sampai 90 persen. Sementara itu, tindakan kekerasan di dunia sebenarnya yang dilaporkan surat kabar dan media lain juga menunjukkan kenaikan.

Penelitian tentang tentang hal ini dapat dilacak pada tiga fase : fase “ Bobo Doll “, fase penelitian laboratorium, fase penelitian lapangan ( Baron dan Byrne, 1979 : 318-323 ). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya. Mereka ingin mengetahui apakah anak-anak yang melihat orang dewasa melakukan agresi juga akan berbuat hal yang sama. Seratus orang anak-anak taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan garapan ( treatment ) yang berlainan. Satu kelompok melihat orang dewasa menyerang boneka besar dari balon Bobo Doll sambil berteriak, “ Hantam! Sikat hidungnya! “. Kelompok kedua melihat tindakan yang sama dalam film pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan yang sama dalam film televisi, tetapi dengan pelaku yang sering muncul pada prorama anak-anak. Kelompok keempat, tidak melihat adegan kekerasan sama sekali. Setelah itu, setiap anak diberi kesempatan bermain selama 20 menit sambil diamati melalui cermin yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya. Terbukti bahwa ketiga kelompok yang menonton adegan kekerasan berperilaku lebih agresif. Dari anak-anak itu, 80 – 90 % meniru perilaku agresif yang telah mereka lihat.
Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa
Studi ini telah direplikasi oleh peneliti berkali-kali dengan hasil yang sama. Walaupun demikian, ini belum cukup dijadikan buti bahwa adegan kekerasan dalam media massa menggalakkan agresi. Pertama, dalam eksperimen tersebut yang dijadikan sasaran agresi adalah boneka plastik, bukan manusia.  Juga tidak ada yang rusak dan luka, sehingga sukar disebut sebagai agresi. Kedua, film dalam eksperimen itu berbeda dengan film-film pada televisi, sebab tidak ada “ lakon “ tidak ada alur cerita, dan tidak ada penjelasan mengapa ia tiba-tiba melakukan adegan kekerasan. Ketiga, dalam penelitian ini anak-anak diberi kesempatan meniru secara persis adegan yang dilihatnya ( misalnya pada Bobo Doll ). Dalam situasi sebenarnya, penonton jarang sekali menemukan situasi yang sama dengan apa yang mereka lihat pada film-film televisi. Keempat, subyek eksperimen dalam penelitian ini adalah anak-anak, sehingga tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh penonton.

Berhadapan dengan kritikan ini, timbullah penelitian generasi kedua. Peneliti sekarang berusaha menggunakan sasaran agresif yang lebih realistis ( manusia, dan bukan boneka plastik ). Adegan kekerasan diambil dari film-film yang biasa mereka saksikan dalam televisi. Ditampilkan juga situasi yang persis sama seperti yang terdapat dalam televisi. Liebert dan Baron ( 1972 ) membagi remaja pada dua kelompok. Kelompok yang pertama diterpa adegan-adegan kekerasan dalam film yang diambil dari film serial televisi ( The Untouchables ), dan kelompok yang kedua diterpa adegan-adegan menarik tetapi tidak mengandung kekerasan. Segera setelah itu, mereka diberi kesempatan untuk melakukan agresi dengan memencet tombol merah yang dikatakan dapat menyakitkan anak di ruangan lain. Subyek yang menonton film-film kekerasan lebih banyak dan lebih lama menekan tombol dari subyak yang lain.

Tetapi, bukankah subyek di sini anak-anak remaja, dan bukan orang dewasa ? Banyak penelitian lain yang mengulangi penelitian ini pada orang dewasa dan menghasilkan kesimpulan yang sama ( misalnya, Tannenbaum dan Zillman, 1975; Berkovitz dan Alioto, 1973; Geen dan Stonner, 1972 ). Penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa : (1) penyajian agresi pada televisi menaikkan tingkat agresi penontonnya, dan jenis agresinya sesuai dengan model yang mereka lihat; (2) makin mirip situasi dalam televisi dengan situasi pada kehidupan yang sebenarnya, makin tinggi efek televisi pada agresi; (3) kemungkinan terjadinya efek akan lebih besar bila penyajian kekerasan dianggap sebagai hal yang sudah sepatutnya ( misalnya polisi yang menembak habis para penjahat ).

Walaupun demikian, ilmuwan belum juga puas. Sementara itu para produsen film cenderung menolak kebenaran penelitian-penelitian di atas. Kritikan disampaikan juga pada peneliti fase ini : (1) alat ukur agresi masih belum sempurna, manusia jarang melakukan agresi dengan memencet tombol ( kecuali pada jenderal yang menghadapi alat pengendali peluru antar benua ); (2) film yang dipertunjukkan pendek-pendek pada kenyataannya, orang menonton lebih lama dan lebih banyak sehingga efeknya diduga lebih besar; (3) yang diteliti hanyalah efek segera setelah menonton film atau televisi ( tidak diteliti kemungkinan efek jangka lama ).

Kritikan ini disambut dengan penelitian generasi ketiga ( penelitian lapangan jangka lama ). Dalam eksperimen, dipertunjukkan film televisi yang lengkap selama beberapa hari. Perilaku agresif pada keadaan alamiah diukur. Leyens dan kawan-kawan ( 1975 ) mengamati perilaku agresif sejumlah besar murid sekolah di Belgia. Perilaku yang diamati terjadi pada situasi alamiah, buka di laboratorium. Kegiatan mereka sehari-hari tidak terganggu. Berdasarkan tempat tinggalnya, mereka dibagi kedalam dua kelompok. Selama seminggu, satu kelompok menerima lima buah film yang mengandung kekerasan, dan kelompok yang lain menonton lima buah film tanpa kekerasan. Selama seminggu pula, perilaku mereka diawasi dengan cermat. Mereka yang menonton film kekerasan menunjukkan perubahan perilaku ke arah yang lebih agresif.

Sebahagian penelitian lapangan dilakukan dilakukan dengan survai korelasional, menghindari situasi buatan dalam penelitian eksperimental. Misalnya, dari sampel yang besar dari anak-anak berusia 6 sampai 18 tahun ditemukan bahwa frekuensi menonton film kekerasan berkorelasi secara positif dengan indikator agresi seperti jumlah konflik dengan orang tua, frekuensi berkelahi, dan perilaku delinkuen ( McCarthy et.al. !975 ). Di Kanada, tiga buah kota diamati dalam hal tingkat agresi penduduknya. Pada permulaan penelitian, kota pertama tidak ada televisi, kota kedua ada televisi dengan satu saluran, dan kota ketiga ada televisi yang banyak saluran. Pada ketiga kota itu secara berangsur-angsur dimasukkan televisi. Data longitudinal menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat agresi di antara ketiga kota itu pada permulaan studi. Data cross sectional menunjukkan kenaikan tingkat agresi segera setelah dimasukkan televisi ( Joy et. al., 1977 ).

Secara singkat, hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televisi dapat disimpulkan pada tiga tahap : (1) mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh ( observational learning ); (2) selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang ( disinhibition ); dan (3) ahirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi ( desensitization ). Jadi, film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka.

Sudah jelas, berbagai penelitian ( yang jumlahnya bahkan lebih dari seratus ) menunjukkan bukti yang meyakinkan bahwa adegan kekerasan dalam film dan televisi meningkatkan kadar agresi penontonnya. Kendatipun begitu, ada satu teori yang menolak hasil-hasil penelitian di atas. Teori ini menyatakan bahwa justru menonton adegan kekerasan dalam televisi merupakan saluran agresi yang ada pada manusia. Teori ini diperkenalkan oleh Fesbach ( 1955 ), disebut teori katharsis ( catharsis theory ). 

Teori katharsis diambil dari psikoanalisis Sigmund Freud ( walaupun freud sendiri tidak pernah menggunakan istilah katharsis ). Menurut Freud, manusia digerakkan oleh dua naluri yaitu eros dan thanatos. Eros adalah naluri konstruktif dan thanotos naluri destruktif. Pada dasarnya, manusia itu agresif ( senang merusak, membunuh, dan menghancurkan ). Dorongan agresif tentu tidak seluruhnya di benarkan masyarakat. Bila mengalami hambatan, dorongan agresif bertumpuk dan menimbulkan ketegangan. Kata Freud, “ The dominating tendency of mental life, and perhaps of nervous life in general is the effort to reduce, to keep constant, or to remove internal tension “, ( 1976: 95 ). Kekuatan agresif yang terhambat sewaktu-waktu dapat meledak. Orang harus berusaha menguranginya, menahannya, menghilangkannya sama sekali. Malalui sublimasi dan fantasi orang menyalurkan dorongan agresi, seperti knalpot mengeluarkan asap mesin yang bertumpuk. Seni, agama, ideologi, adalah knalpot itu. Begitu pula fantasi, mimpi, dan lelucon. Menyalurkan dorongan agresif secara konstruktif inilah yang disebut katharsis.

Media massa menyajikan fantasi dan pengalaman wakilan ( vicarious experience ). Kita puas melihat orang-orang jahat dihajar sampai babak belur, sehingga kita tidak perlu lagi menghajar “ boss “ yang tidak dapat dilawan di kantor. Seorang hiperseks yang tidak dapat melakukan hubungan seksual ekstramarital menyalurkan nafsunya lewat film-film pornografis.

Teori katharsis tampaknya logis dan dapat diterima. Implikasinya itu yang mengerikan ( perbanyak film-film kekerasan supaya tindakan kejahatan berkurang; galakkan film-film pornografis, supaya kejahatan seks menurun ). Teori katharsis memang cocok bagi produsen film dan distributor, tetapi tidak cocok buat kaum agama dan moralitas, lagi pula tidak cukup terbukti dengan penelitian ilmiah. Alexis S. Tan ( 1981 : 223 ) menulis : “ Hipotesis katharsis jelas bertentangan dengan kebanyakan penelitian. Hipotesis ini kurang ditunjang oleh penelitian. Hanya dua penelitian saja, kedua-duanya oleh Feshbach, menunjukkan bahwa subyek yang marah lebih kurang ‘ agresif ‘ setelah menonton film kekerasan dibandingkan dengan mereka yang menonton film nonkekerasan. Tetapi pada kedua penelitian ini, alat ukur agresinya lemah ( kuesioner ) dan hasilnya lebih mudah dijelaskan dengan penafsiran sebaliknya. Karena itu, kita harus menyimpulkan dengan bukti-bukti yang menunjang efek belajar sosial dari adegan kekerasan terhadap agresi, bahwa menonton adegan kekerasan tidak menimbulkan efek katharsis. “

Jadi, Sejauh ini tampaknya teori belajar sosial lebih dapat diandalkan daripada teori katharsis. Kedua duanya menjelaskan efek behavioral media massa.

Psikologi Komunikasi
Share this article to your friends :
DMCA.com Protection Status

0 comments: