Advertisement
Pada waktu membicarakan efek kehadiran media massa, secara sepintas kita juga telah menyebutkan efek behavioral seperti pengalihan kegiatan dan penjadwalan pekerjaan sehari-hari. Di situ, kita melihat pada media massa semata-mata sebagai benda fisik. Di sini, kita meneliti juga efek pesan media massa pada perilaku khalayak. Perilaku meliputi bidang yang luas, dan yang kita pilih ( yang paling sering dibicarakan ) adalah efek komunikasi massa pada perilaku sosial yang diterima ( efek prososial behavioral ) dan pada perilaku agresif.
Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku prososial adalah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal : orang tua, atasan, pelatih, atau guru. Pada dunia modern, sebagian dari tugas mendidik telah juga dilakukan media massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah kita ketahui mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan. Buku teks menyajikan petunjuk penguasaan keterampilan secara sistimatis dan terarah. Majalah profesi memberikan resep-resep praktis dalam mengatasi persoalan. Surat kabar membuka berbagai ruang keterampilan seperti fotografi, petunjuk penggunaan computer, resep makanan, dan sebagainya. Yang sering diragukan orang adalah pengaruh prososial behavioral media elektronis seperti radio, televisi, atau film.
Ketiga media elektronis itu di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagia laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi, dan pemutaran film. Sebagian lagi melaporkan kegagalan. Colin Fraser ( Media Asia, 1983 ) memberikan contoh sukses. Di Ecuador, siaran iklan satu menit untuk kampanya anti gondok ( goiter ) telah meningkatkan jumlah rumah tangga yang menggunakan garam beryodium dari 5 % sampai 98%. Di Republik Kongo, siaran pedesaan telah mendorong kaum pria membantu kaum wanita memanen ketela ( suatu pekerjaan yang sepanjang sejarah hanya dilakukan kaum wanita ). Mereka melakukannya “ because the radio said so “. Banyak juga yang melaporkan sebaliknya. Radio tidak berhasil mengubah kebiasaan makan pendengarnya. Televisi gagal mendorong pirsawan untuk menabung di bank. Film tidak sanggup memotivasikan penduduk di dusun Afrika untuk bertindak menghindari bahaya lalat tse-tse.
Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan ( modeling ). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses : proses perhatian, proses pengingatan ( retention ), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu ( misalnya menolong orang tenggelam ) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “ abstract modeling “ ( misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial ). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang tua kita, kawan kita, guru, atau sajian media massa. Bila peristiwa ini sudah diamati, terjadilah tahap pertama belajar sosial ( perhatian ). Kita baru dapat mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani. Tetapi tidak seluruh peristiwa itu kita perhatikan.
Stimuli yang dapat dijadikan teladan ( modeling stimuli ) diperhatikan karena sifat-sifat stimuli itu dan karena karakteristik orang yang menangkap stimuli. Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian adalah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, atau menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya ( artinya, memuaskan kebutuhan psikologisnya ). Pakaian “ haute couture “ yang disiarkan berkali-kali dalam media, dipakai oleh orang-orang “gedean “, dan dapat meningkatkan status peniruan juga akan mendapat perhatian yang besar. Sementara kampanye pakaian dalam negeri yang diungkapkan secara implicit, disiarkan sekali seminggu, dan dihubungkan dengan rakyat kacil, amat sulit diperhatikan orang.
Kita telah menguraikan pengaruh faktor personal terhadap perhatian. Badura juga menyebut faktor-faktor ini sebagai penentu dalam memilih apa yang akan kita perhatikan dan kita teladani ; karakteristik demografis ( usia, kecerdasan ), kebutuhan, suasana emosional, nilai, dan pengalaman masa lalu.
Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benaknya dan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Peneladanan tertangguh ( delayed modeling ) hanya terjadi bila mereka sanggup mengingat peristiwa yang diamatinya.
Anda akan mampu mengulangi membuat kalimat bahasa inggris, bila anda dapat mengingat contoh yang diberikan pengajar bahasa inggris dalam televisi. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut “ visual imagery “, berarti membuat gambaran mental tantang peristiwa yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi peristiwa dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus mampu membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut sebagai “ rehearsal “.
Sampailah kita pada tahap berikutnya, proses reproduksi motoris; artinya menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati. Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi ? Motivasi bergantung pada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak : peneguhan eksternal, peneguhan gantian ( vicarious reinforcement ), dan peneguhan diri ( self reinforcement ). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kita, atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa Indonesia dalam TVRI dan surat kabar baru berhasil, bila ada iklim yang mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang baik.
Kita juga akan terdorong melakukan perilaku teladan bila kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatannya. Secara teoritis, agak sukar orang meniru bahasa Indonesia yang benar bila pejabat-pejabat yang memiliki reputasi tinggi justeru berbahasa Indonesia yang salah. Kita memerlukan peneguhan gantian. Walaupun kita tidak mendapat ganjaran ( pujian, penghargaan, status, dan sebagainya ), tetapi melihat orang lain mendapat ganjaran karena perbuatan yang ingin kita teladani akan membantu terjadinya proses reproduksi motoris.
Ahirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal. Kita akan mengikuti anjuran berbahasa Indonesia yang benar bila kita yakin bahwa dengan cara itu kita memberikan kontribusi bagi kelestarian bahasa Indonesia.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment