Friday, October 18, 2013

Sejarah Penelitan Efek Komunikasi Massa

Advertisement
Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. Barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang tergoncangkan oleh apa yang terjadi pada waktu itu. Begitulah Hadley Cantril memulai tulisannya tentang The Invasion of Mars ( Schramm, 1977 : 579 ).

Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Dalam cerita itu dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para profesor dari beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan Jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata. Pendengar menganggapnya peristiwa sebenarnya. "Sebelum siaran itu berakhir", begitu dilaporkan Centril, " diseluruh Amerika Serikat orang berdoa, menangis, melarikan diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars. Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya, ada yang menelpon menyampaikan ucapan perpisahan atau peringatan, ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulance dan mobil polisi. Sekurang-kurangnnya satu juta manusia ketakutan mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta manusia ketakutan atau tergoncangkan".

Peritiwa itu menarik beberapa orang peneliti sosial yang menurutnya suatu peristiwa langkah telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama  Father Coughlin ( Teknik-teknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for Propaganda Analysis ). Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebarkan. Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di italia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia juga Lenin berhasil merebut kekuasaan dengan menggunakan media massa pula.
Sejarah Penelitan Efek Komunikasi Massa
Tetapi benarkah media massa perkasa ? Menurut Noelle - Neumann, penelitian efek media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan. Efeknya tidak begitu berarti. Ini diperkokoh oleh psikolog sosial William McGuire yang menulis bahwa dampak media massa hasil pengukuran dalam hubungannya dengan daya persuasif tampaknya kecil saja. Sejumlah besar penelitian telah dilaksanakan untuk menguji efektivitas media massa, hasilnya sangat memalukan bagi pendukung media massa karena ternyata sedikit sekali adanya bukti perubahan sikap, apalagi perubahan perilaku nyata.

Agak mengherankan, memang. Pada satu sisi, kita melihat kejadian-kejadian yang menunjukkan pengaruh media massa. Pada sisi lain, peneliti sosial menunjukkan tidak ada pengaruh yang cukup berarti. Manakah yang betul ? Perkasakah media massa atau tidak ?

Penelitian efek komunikasi mengungkapkan pasang surut kekuatan media massa. Dari media massa yang perkasa, kepada media massa yang berpengaruh terbatas, dan kembali lagi pada media massa yang perkasa.

Hingga tahun 1940, pada pasca Perang Dunia I, kekuatan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat desrtasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur ( 1975 ) sebagai "instinctive S-R theory". Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hempir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons yang sama pada stimili yang datang dari media massa ( DeFleur, 1975:159 ). Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa. Teori ini disebut juga teori peluru ( bullet theory ) atau modedl jarum hipodermis ( Rakhmat, 1984 ), yang menganalogikan pesam komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasian. Elisabeth Noelle - Neumann ( 1973 ) menyebut teori ini " The concept of powerful mass media ".

Pada tahun 1960-an, Carl I. Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimantal untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Cooper dan Jahooda meneliti pengaruh film " Mr. Bigott " yang ditujukan untuk menghilangkan rasial. Mereka menemukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas pesan. Serangan terbesar pada model peluru adalah penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawan dari Columbia University pada pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu pada perilaku pemilih. Daerah sampel yang dipilih adalah Erie County, di New York. Karena itu, penelitian mereka lazim dikenal dengan sebutan Erie County Study.

Apa yang ditemukan Paul Lazarsfeld ? Mengejutkan. Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai " Agent of conversion " ( Media untuk mengubah perilaku ), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media massa juga disaring oleh pemuka pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan daripada media massa. Khalyak juga bukan lagi tubuh passif yang menerima apa saja yang disuntikkan ke dalamnya. Khalayak menyaring informasi melalui proses yang disebut terpaan seletif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective perception).

Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu Psikologi kognitif datang dengan " theory of cognitive dissonance" (teoti disonansi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950-an makin membuktikan keterbatasan pengaruh media massa. Ahli sosiologi menyimpulkan penelitian pada periode itu dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan kelucuannya. Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku The Effects of Mass Communication. Dari rangkuman hasil-hasil penelitian, Klapper antara lain menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktor-faktor perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif ( persepsi selektif, terpaan selektif, ingatan selektif, proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinen opini ).

McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada periode ini sebagai berikut :
1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.
2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi.
3. Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki.
4. Sejauh man suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa ( komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting."
5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat  dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok.
6. Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan menetukan efek yang terjadi. ( McQuail, 1975:47-48 )

Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek madia massa pada orang, para peneliti sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media. Fokus penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate, dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuihannya. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan pendekatan " uses and gratification " ( panggunaan dan pemuasan ).

Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz ( 1959 ) sebagai reaksi terhadap Bernard Berelson yang mengatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek media massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian tentang usaha untuk menjawab pertanyaan : " what do peoledo with the media ? ". Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper.

Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw. Model agenda setting tampaknya mempengaruhi  kembali penelitian efek, yang diabaikan oleh model uses and gratification. Perbedaanya yang utama dari model jarum hipodermis adalah fokus penelitian. Bila model yang disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap dan pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan. Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek efektif ke efek kognitif.

Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Bila media massa sering memuat nama seseorang, maka orang itu akan cenderung dianggap tokoh yang penting. Bila surat kabar memuat secara besar-besaran pernikahan seorang ratu, maka pernikahan itu akan menjadi bahan pembicaraan khalak pula. Begitu pula bila televisi sering menampilkan adegan kekerasan, orang rajin menontonnya akan menganggap dunia ini penuh dengan tindakan-tindakan kejahatan. Pendeknya, media massa memilih informasi yang dikehendaki berdasarkan informasi yang diterima, dan khalayak membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa. Mungkin ucapan Bernard Cohen ( ahli ilmu politik ), berhasil menyimpulkan model agenda setting dengan dua kalimat sebagai berikut : " It may not be successful much of the time in telling people what to think but it is stunningly successful in telling its readers what to think about." ( Cohen, 1963:13 ). Model agenda setting masih tetap dikembangkan sampai sekarang. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan para peneliti kelihatan mau kembali kepada efek komunikasi yang perkasa.

Pada awal 1970-an, kampanye media massa terbukti mempunyai efek yang penting terhadap sikap dan perilaku. Mendelsonn ( 1973 ) menunjukkan bagaimana kampanye CBS perihal keselamatan pengemudi telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada kursus latihan mengemudi. Maccoby mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi penderita penyakit jantung.

Di Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann dapat dianggap sebagai sarjana yang menekankan pentingnya kembali kepada konsep efek perkasa dari media massa. Menurut Noelle-Neumann, penelitian terdahulu tidak memperhatikan tiga faktor penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama dalam membatasi persepsi yang selektif. Faktor itu adalah ubiquity, kumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.

Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada dimana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan ( consonance of journalists ). Siaran berita cenderung sama, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarakan informasi yang diterimanya dari media massa.

Secara singkat, kita telah melacak perkembangan penelitian komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai sekarang. Kira-kira berlangsungnya dalam kurun waktu kurang lebih setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban manusia. Namun beberapa puluh tahun terakhir ini, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat dari pada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad technetronic ( teknologi elektronis ) yang akan datang. Tetapi, manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol lingkungan.Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami lingkungan secara fenomenologis.

Psikologi Komunikasi
Share this article to your friends :
DMCA.com Protection Status

0 comments: