Advertisement
Rangsangan Emosional
Anda mungkin mengalami atau melihat orang lain pernah mengalami perasaan sedih dan menangis terisak-isak ketika menyaksikan adegan yang mengharukan dalam sandiwara atau film. Kita mengenal film-film “cengeng” yang mendramatisasikan tragedi. Kita juga mengetahui novel-novel malankolis yang dimaksudkan untuk meneteskan air mata pembacanya. Jutaan rakyat India menangis menyaksikan siaran kematian Idira Gandhi; jutaan rakyat Iran meneteskan air mata ketika kematian Ayatullah Mutahhari dipancarkan stasiun radio dan televisi; dan jutaan rakyat Amerika tidak sanggup menahan keharuan yang mendalam ketika penembakan Kennedy yang mereka saksikan di layar televisi. Karena itu, peneliti komunikasi terusik untuk bertanya,”Apakah media massa memang menimbulkan rangsangan emosional? “
Menjawab partanyaan tersebut dengan penelitian empiris tidaklah mudah. Penelitian mengalami kesukaran untuk mengukur emosi sedih, gembira, atau takut sebagai akibat pesan media massa. Kita tidak dapat mengukur efek emosional sebuah film tragedi dengan menampung air mata penonton yang tumpah; tidak juga mampu mengukur kegembiraan dengan mengukur kerasnya suara tertawa ketika bereaksi pada suatu adegan yang lucu. Tetapi para peneliti telah berhasil menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan media massa. Faktor-faktor itu antara lain, suasana emosional ( mood ), skema kognitif, suasana terpaan, predisposisi individual, dan tingkat identifikasi khalayak dengan tokoh dalam media massa ( Weiss, 1969, V : 52-99 ).
Faktor kedua, yang mempengaruhi intensitas emosional adalah skema kognitif. Ini adalah semacam “naskah” pada pikiran kitayang menjelaskan “alur” peristiwa. Kita tahu bahwa dalam film, “yang punya lakon” akan menang pada akhirnya. Karena itu, kita tidak terlalu cemas ketika pahlawan kita jatuh ke dalam jurang. Kita menduga pasti ia akan terselamatkan juga. Menurut Walter Weiss ( 1969, V:93 ), “ Awareness that the hero in most stories, and always in a series, will be alive at the end should tend to moderate emotional disturbance when the hero is placed in dangerous or threatening situations.” ( Kesadaran bahwa sang pahlawan dalam kebanyakan cerita, dan selalu dalam film-film serial, akan tetap hidup pada ahir cerita, cenderung memoderatkan goncangan emosional ketika sang pahlawan ditempatkan dalam situasi yang berbahaya dan menakutkan. ) Karena alas an inilah, kita mungkin sangat kecewa ketika kita mengetahui pada ahir cerita Mr. Horn mati di tiang gantungan ( seorang pahlawan kalah oleh para penjahat ). Cerita Mr. Horn memporak-porandakan skema kognitif kita, yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman kita.
Tetapi skema kognitif tidak selalu berdasarkan pengalaman. Skema kognitif dapat juga terbentuk karena induksi verbal atau petunjuk pendahuluan yang menggerakkan kerangka interpretif. Lazarus dan kawan-kawannya meneliti emosi kengerian yang ditimbulkan oleh upacara penggoresan luka yang dilakukan seorang remaja penduduk asli Australia. Kelompok mahasiswa, yang telah diberitahu sebelumnya bahwa upacara itu diperlukan sebelum remaja itu memperoleh status baru, tidak begitu ngeri menyaksikannya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat pemberitahuan seperti itu.
Masih erat kaitannya dengan skema kognitif adalah anggapan apakah adegan atau cerita yang disaksikan khalayak media massa itu realistis atau sekedar khayalan belaka. Karena itu, Himmelweit, Oppenheim, dan Vince menyarankan bahwa salah satu cara untuk mengurangi gangguan emosional pada anak-anak yang menyaksikan adegan fiktif ialah menjelaskan kepada mereka bahwa yang mereka tonton itu hanyalah hayalan. Peristiwa kepanikan yang terjadi karena sandiwara “ The War of the Worlds “ itu dianggap sangat realistis.
Faktor ketiga yang mempengaruhi efek emosional media massa adalah suasana terpaan ( setting of exposure ). Anda akan sangat ketakutan menonton film horror bila anda menontonnya sendirian di sebuah rumah tua, ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian yang dilaporkan Weiss menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian atau di tempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi anda pada waktu memberikan respons. Ketakutan, juga emosi lainnya, memang mudah menular.
Faktor predisposisi individual mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedi lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya orang periang akan lebih terhibur oleh adegan lucu daripada orang melankolis. Beberapa penelitian pembuktian bahwa acara yang sama bisa ditanggapi berlainan oleh orang-orang yang berbeda. Misalnya, drama televisi yang melukiskan keluarga yang penuh saying dan kehangatan terasa sangat menyakitkan bagi anak-anak yang tinggal dip anti asuhan. Seperti itu pula, upacara yang melukiskan kemewahan akan sangat menyinggung buat penonton yang tengah dilanda keprihatinan.
Faktor identifikasi menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penonton, pembaca, atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh. Karena itu, ketika tokoh identifikasi ( disebut identifikan ) itu kalah, ia juga kecewa; ketika identifikan berhasil, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap seorang tokoh dalam televisi atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi sekarang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila diidentifikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil. Semuanya ini menunjukkan bahwa makin tinggi identifikasi ( atau disidentifikasi ) kita dengan tokoh yang disajikan, makin besar intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment