Advertisement
Pertanyaan ini telah mengusik manusia selama berabad-abad. Pada abad ke 13, seorang kaisar Kerajaan Romawi yang suci ( Frederick II ), mengadakan ekxperimen. Ia ingin mengetahui apakah bahasa yang akan digunakan oleh anak-anak, bila kepada mereka tidak diajarkan bahasa apa pun pada tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Ia memilih beberapa orang bayi dan merawatnya dalam suatu tempat yang khusus. Bayi-bayi itu dipelihara sebagaimana layaknya ( dimandikan, dirawat, dan disusui ). Tetapi tidak seorang pun diperbolehkan berbicara, bersenandung, atau menyanyikan lagu penghantar tidur buat mereka. Penelitian ini tidak membuahkan hasil, karena semua anak meninggal secara misterius, dan eksperimen ini tidak pernah diulang lagi.
Pada permulaan abad ke 19, dari hutan Averyron ditemukan seorang anak liar yang bertahun-tahun diperlihara serigala. Ketika ia ditangkap, ia merangkak dan mengeluarkan suara lolongan seperti anak serigala. Itard ( seorang dokter ), berusaha mengajarkan bahasa manusia kepadanya pada saat ia berusia 12 tahun. Ia tidak berhasil. Victor ( demikian nama anak liar dari Averyron itu ), hanya sanggup mengucapkan beberapa patah kata saja.
Eksperimen Frederick tidak dapat menjelaskan bagaimana kita berbahasa. Penemuan Victor menunjukkan bahwa bila dipisahkan dari lingkungan manusia, seorang anak tidak memiliki kemampuan bicara. Sebaliknya, kita melihat anak yang dibesarkan pada masyarakat manusia, pada usia 4 tahun sudah dapat berdialog dengan kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Bagaimana anak kita dapat manggunakan bahasa Indonesia, dengan tata bahasa Indonesia, padahal ia lahir ke dunia sebelum dikursus bahasa Indonesia ? Bagaimana ia dapat menangkap arti kata-kata tanpa kamus ? Untuk menjawab pertanyaan ini, psikologi menyajikan dua teori yaitu teori belajar dari behaviorisme dan teori nativisme dari Noam Chomsky.
Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses yaitu asosiasi, imitasi, dan peneguhan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan obyek tertentu. Imitasi berarti menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Peneguhan dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata dengan benar. B. F. Skinner ( psikolog dari Hrvard ), menerapkan ketiga prinsip ini ketika ia menjelaskan tiga macam respons yang terjadi pada anak-anak kecil, yang disebutnya sebagai respons mand, respons tact, dan respons echoic. Respons mand dimulai ketika anak-anak mengeluarkan bunyi secara sembarangan. Tiba-tiba sebagian bunyi itu menyebabkan ibu memberikan ganjaran. Misalnya, anak mengeluarkan bunyi “ u-u “, dan orang tuanya menganggapnya sebagai permintaan ( command atau demand ) agar diberi air. Si bayi segera menyaksikan orang tua memberinya minuman yang segar. Sejak saat itu, kalau ia menginginkan minuman segar ia mengucapkan “ u-u “.
Respons tact terjadi bila anak menyentuh obyek, kemudian secara sembarang ia mengucapkan bunyi. Orang tuanya mengira ia menyebutkan satu kata dan memberikan ganjaran. Misalnya, anak menyentuh gelas yang berisi air, lalu secara sembarang ia mengucapkan “ u-u “. Orang tuanya beranggapan bahwa anak itu mengatakan “ minum “. Dan anak itu dipeluk dengan ucapan, “ Oh, mau minum ? Kau pintar, ya. “ Sejak saat itu, anak menggunakan “ u-u “ dalam arti “ minum “.
Respons echoic terjadi ketika anak menirukan ucapan orang tuanya dalam hubungan dengan stimuli tertentu. Misalnya, setiap kali ibu memberikan air hangat, ia mengatakan “ minum “. Anak mencoba menirunya dan mengucapkan “ u-u “. Ibu gembira mendengar ucapan itu, lalu memangkunya, memeluknya, dan mengucapkan kata-kata yang lembut. Inilah yang disebut sebagai upaya imitasi yang dilakukan anak.
Menurut Noam Chomsky, bila anak harus belajar seperti itu, paling tidak diperlukan waktu tiga puluh tahun untuk mampu menguasai 1000 kata saja. Menurutnya, teori belajar hanyalah “ play-acting at sicience “, suatu penjelasan yang sama sekali tidak tepat tetapi dibungkus dengan istilah-istilah yang bernada ilmiah. Pada tahun 1959, Chomsky membabat buku skinner, menimbulkan guncangan baru dalam psikologi dan melahirkan disiplin baru dalam psikologi, yaitu psikolinguistik. Teori behaviorisme, kata Chomsky, tidak dapat menjelaskan fenomena belajar bahasa. Teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa anak berhasil membuat kalimat-kalimat yang tidak pernah mereka dengar, atau melahirkan kata-kata baru atau susunan kalimat baru yang tidak pernah diucapkan oleh orang tuanya.
Menurut Chomsky, setiap anak mampu menggunakan suatu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan ( preexistent knowledge ) yang telah deprogram secara genetik dalam otak kita. Ia menyebut pengetahuan ini sebagai L.A.D. ( Language Acquisition Device ). L.A.D. tidak mengandung kata, arti, atau gagasan, tetapi hanyalah satu sistem yang memungkinkan manusia menggabungkan komponen-komponen bahasa. Walaupun bentuk luar bahasa di dunia ini ( surface structure ), berbeda-beda, bahasa-bahasa itu mempunyai kesamaan dalam struktur pokok yang mendasarinya. Chomsky menyebutnya linguistik universal. “ Karena anak-anak diperlengkapi dengan kemampuan ini, mereka segera mengenal hubungan di antara bentuk-bentuk yang terdapat dalam tata bahasa struktur dalam yang sudah terdapat pada kepalanya. Hubungan-hubungan tersebut menyebabkan anak secara alamiah mengucapkan kalimat-kalimat yang sesuai dengan peraturan bahasa mereka. Teori nativisme menggambarkan anak memperoleh pengetahuan tentang bahasa tertentu, ketika bahasa yang didengar membangkitkan respons bawaan dari kemampuan berbahasa. “ ( Hunt, 1982 ). Adanya dasar fisiologis dari kemampuan dasar berbahasa dibuktikan dengan penemuan daerah Broca dan daerah Wernicke pada otak manusia. Daerah yang pertama disebut sintaksis, sehingga gangguan atau kerusakan pada daerah ini menyebabkan orang berbicara terpatah-patah dengan susunan kata yang tidak teratur. Kerusakan di daerah Wirnicke menyebabkan orang berbicara lancer tetapi tidak mempunyai arti.
Teori perkembangan mental dari Jean Piaget memperkuat teori Chomsky dengan menunjukkan adanya struktur universal yang menimbulkan pola berpikir yang sama pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan mental anak-anak. Kedua psikolog ini membuktikan bahwa otak manusia bukanlah penerima pengalaman yang pasif, bukan papan tulis kosong, tetapi sebuah organ yang dilengkapi dengan kemampuan kemampuan bawaan.
Dalam sebuah penelitian mengenai anak-anak bisu yang tidak diajari bahasa tanda di Philadelphia, tim peneliti menemukan bahwa anak-anak pada usia 3 atau 4 tahun telah membuat isyarat-isyarat tersendiri yang menghasilkan “ kalimat-kalimat “ ( rangkaian tanda-tanda ). Mereka dapat membedakan antara subjek, predikat, dan objek. Karena rangkaian tanda-tanda itu lahir sendiri, peneliti menyimpulkan bahwa dalam otak anak sudah terdapat prinsip-prinsip berbahasa yang bukan merupakan hasil belajar.
Sampai sekarang kontroversi antara teori nativisme dan teori belajar masih tetap berlangsung. Kita tidak akan memperpanjang pertentangan ini. Cukuplah di sini dikatakan bahwa bahasa merupakan proses interaksi di antara proses biokimiawi, faktor-faktor kematangan, strategi belajar, dan lingkungan sosial ( Blount, 1975 ). Dalam hubungannya dengan komunikasi, kedua teori ini memberikan dasar bagi kita dalam menanamkan kemampuan menyusun pesan linguistik atau konsep-konsep baru pada komunikate.
Demikianlah artikel tentang Bagaimana kita dapat Berbahasa, yang dipublikasikan pada blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment