Advertisement
Orang Amerika mengatakan “a clock runs“ (jam berlari), orang Indonesia menyebutkan “waktu berjalan“, orang Spanyol mengatakan “el reloj anda“ (jam berjalan). Apakah ini berarti ada perbedaan persepsi tentang waktu ? Apakah ini yang menyebabkan orang-orang Amerika selalu bergegas-gegas dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya sebelum keburu hilang, sedangkan kita ( dan kawan-kawan kita dari Amerika Latin ) memandang hidup lebih santai, sering menangguhkan pekerjaan, karena toh jam hanya berjalan dan tidak berlari ? Untuk mengatakan bahwa waktu yang ditentukan tidak terasa hampir lewat, kita masih berkata, “ waktu berjalan cepat “ ( walaupun cepat, waktu tetap berjalan ); orang Amerika mengatakannya, “ we’re running out of time “. Perhatikan kalimat-kalimat Inggris di bawah ini dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia :
I broke my legs ( Kaki saya patah )
O, I burned my finger ( Oh, jariku terbakar )
I missed the bus ( Saya ketinggalan bis )
I lost my money ( Uang saya hilang )
Kita melihat dalam kalimat-kalimat Inggris, pelaku adalah diriku sendiri. Kita mengatakan kaki yang patah, mereka menyebutkan mereka yang mematahkan kakinya. Kita mungkin tertawa kalau menerjemahkan “ I burned my finger “ menjadi “ Saya membakar jariku “. Tetapi begitulaah cara mereka mengungkapkan maksud bahwa jari mereka terbakar. Tidakkah ini berarti bahwa kita cenderung menyalahkan hal-hal di luar diri kita ? Kalau kita terlambat, itu salah bis. Kalau kita tidak hati-hati, bukan kita yang menghilangkan uang, tetapi uang itu yang hilang dari kita. Apakah ini menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab ? betulkah tidak adanya “ tenses “ dalam bahasa Indonesia menunjukkan kita tidak mempersepsi faktor waktu seperti persepsi orang-orang Amerika atau Perancis ?
Bila kita mencoba menjawab pertanyaan di atas, kita sedang menghubungkan bahasa dan berpikir ( atau lebih khusus, bahasa dan persepsi kita tentang realitas sosial ). Menurut salah satu teori ( principle of linguistic relativity ) bahasa menyebabkan kita memandang realitas sosial dengan cara tertentu. Teori ini dikembangkan oleh von Humboldt, Sapir, whorf, dan Cassier. Dari sekian nama itu, Whorf yang tampaknya paling merebut perhatian. Whorf sendiri “ tersandung “ mempelajari linguistik, padahal ia seorang insinyur dan pengusaha. Kini umumnya orang menyebut teori yang menjelaskan hubungan bahasa dengan berpikir ini sebagai teori Whorf ( Whorfian Hyphotesis ). Edward Sapir, guru Bejamin L. Whorf menulis, “ Bahasa adalah pandu realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak dianggap sebagai hal yang sangat diminati ilmuwan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran kita tentang masalah dan proses sosial. Manusia tidak hidup hanya dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi ia sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya…. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk dianggap mewakili kenyataan sosial yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat, bukan semata-mata dunia yang sama dengan merek yang berbeda. “ ( Mandelbaum, 1949 : 62 ).
Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa; dan karena bahasa berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda. Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti yang telah diprogram oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula.
Whorf memberi contoh bahasa Eskimo. Dalam bahasa Eskimo ada tiga kata untuk menunjukkan tiga jenis salju yang tidak ada padanannya dalam satu kata Inggris pun. Ini berarti orang Eskimo membedakan tiga jenis salju, yang tidak dapat dibedakan oleh orang Inggris. Bahasa Arab mengenal 6000 nama untuk unta. Orang Hanunoo di Filipina, mempunyai 92 nama untuk “ rice “ dalam bahasa Inggris ( paling sedikit kita mempunyai empat yaitu padi, gabah, beras, nasi ). Anda dapat membayangkan sekian banyak perasaan yang dapat diungkapkan dalam bahasa daerah ( Sunda dan Jawa ), tetapi tidak ada dalam bahasa Indonesia. Orang Sunda mengenal tiga kata kaduhung, hanjakal, handeueul untuk satu kata “ menyesal “ dalam bahasa Indonesia. Menurut Whorf, perbedaan-perbedaan ini menunjukkan cara memandang dunia yang berbeda.
Whorf menjelaskan bahwa kategori gramatikal suatu bahasa menunjukkan kategori kognitif dari pemakai bahasa itu. Kita melakukan persepsi dengan menggunakan kategori kognitif. Kita juga berpikir dengan memakai kategori-kategori ini. Kita memberikan arti kepada apapun yang kita lihat, yang kita dengar, atau yang kita rasa sesuai dengan kategori-kategori yang ada dalam bahasa kita.
Kontroversi tentang teori Whorf masih belum selesai. Teori ini sendiri mengalami modifikasi. Dapat disepakati bahwa bahasa menunjukkan perhatian cultural pemakai bahasa itu. Orang Eskimo hidup di tengah-tengah salju, sehingga mereka mempunyai 30 kata untuk salju. Unta sangat penting bagi orang Arab ( sebelum ditemukan minyak ), sehingga mereka memiliki perbendaharaan kata yang banyak untuk itu. Bahasa dikembangkan sesuai dengan tantangan-tantangan cultural. Tetapi tidak benar orang tidak dapat membedakan beberapa objek persepsi karena tidak ada kata untuk itu. Walaupun bahasa Indonesia hanya mengenal “dia “, toh kita dapat membedakannya antara “ he “ dan “ she “ di antara kawan-kawan kita. Kita tidak akan memasukkan “ he “ dan “ she “ ke dalam satu kamar ( kecuali bila mereka suami-istri ).
Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep-konsep dalam suatu bahasa cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran tertentu. Ada bahasa yang dengan mudah dapat dipergunakan untuk memikirkan masalah-masalah filsafat, tetapi ada juga bahasa yang sukar dipakai bahkan untuk memecahkan masalah-masalah matematika yang sederhana. Lihat, bagaimana orang sukar menterjemahkan Heidegger, karena ia berpikir dengan struktur dan kata-kata bahasa Jerman.
Kita mungkin dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, bahasa terbukti mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memcahkan persoalan, dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan kita menyandi ( code ) peristiwa-peristiwa dan objek-objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa, kita mengabstraksikan pengalaman kita, dan yang lebih penting mengkomunikasikannya pada orang lain. “ Pemikiran yang tinggi bergantung pada manipulasi lambang “ kata Morton Hunt ( 1982 : 227 ), “dan walaupun lambang-lambang nonlinguistik seperti matematika dan seni sudah canggih, lambang-lambang itu sempit. Sebaliknya, bahasa merupakan sistem lambang tak terbatas, yang mampu mengungkapkan segala macam pemikiran. Bahasa adalah prasyarat kebudayaan, yang tidak dapat tegak tanpa itu atau dengan sistem lambang yang lain. Dengan bahasa, manusia mengkomunikasikan kebanyakan pemikirannya kepada orang lain dan menerima satu sama lain hidangan pikiran ( food for thought ). Pendeknya, betul kita tidak selalu berpikir dengan kata-kata, tetapi sedikit sekali kita dapat berpikir tanpa kata-kata. “ Morton benar. Tetapi harus juga diingat bahwa kata-kata dapat menghambat proses berpikir. Hal ini terjadi bila ada kebingungan dalam mengartikan kata-kata.
Demikianlah posting artikel Bahasa dan Proses Berpikir melalui blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment