Advertisement
Setiap kata melahirkan konotasi yang berbeda bagi setiap orang
Mungkin anda pernah mendengar pertengkaran antara sopir Sunda dan kernet Jawa. Truk mereka berhenti di tengah jalan, kerena ban roda belakang pecah. Sopir berkata dalam bahasa Sunda, “Cokot Dongkrak”. Kernet tidak mengikuti perintah sopir. Ia tersenyum , “Atos, pak”. Pak Sopir merasa dipermainkan. Sekali lagi ia berteriak, “Cokot dongkrak”. Si kernet dengan serius juga menjawab, “Atos, pak!”. Keduanya bertengkar dan hampir saling memukul. Untunglah mereka kemudian menyadari telah terjadi kesalahpahaman. Kata “Cokot “ dalam bahasa Sunda artinya “ambil”, sedangkan dalam bahasa Jawa artinya “gigit”. Begitupun kata “Atos” dalam bahasa sunda artinya “sudah”, dan kata “atos” dalam bahasa Jawa artinya “keras”. Pertengkaran terjadi karena setiap orang member makna yang berlainan pada satu kata. Kata-kata tidak bermakna; oranglah yang member makna.
Lalu, apa yang disebut makna? Konsep makna telah menarik perhatian komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan linguistik. Selama lebih dari 2000 tahun, kata Fisher (1978: 250), konsep makna telah memukau para filusuf dan sarjana-sarjana sosial. Begitu banyaknya orang mengulas makna, sehingga makna hampir kehilangan maknanya. Banyak di antara penjelasan tentang makna “too vague and speculative” (terlalu kabur dan spekulatif) kata Jerold Katz (1973: 42).
Ada beberapa buku yang mengulas tentang makna, seperti ”The Meaning of Meaning” dan “Understanding Understanding”, tetapi isinya menurut Fisher, lebih sedikit dari apa yang ditawarkan judulnya. Ulasan yang agak mendalam biasanya ditawarkan filsafat. Sejak Plato, Jhon Locke, Wittgenstein, sampai Brodbeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang lebih sering membingungkan daripada menjelaskan. Mungkin Brodbeck merupakan kekecualian. Ia menjernihkan pembicaraan dengan membagi makna pada tiga corak. perdebatan tidak selesai, seringkali karena orang mengacukan makna ketiga corak makna tersebut.
Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referensi). Satu lambang dapat menunjukkan banyak rujukan. “Jari-jari” dapat menunjukkan setengah diameter, bagian dari roda sepeda, atau bagian tangan. Atau satu rujukan diwakili oleh berbagai lambang. Kain yang menutup tubuh Anda disebut baju, pakaian, sandang, atau busana. Jalan disebut thariq (Arab), street (Inggris),la rue (Prancis), die Strasse (Jerman), destraat (Belanda), la calle (Spanyol), la strada (Italia), domo arigato (Jepang).
Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. Fisher memberi contoh dengan kata “phlogiston”. Kata ini dahulu dipakai untuk menjelaskan proses pembakaran. Benda menyala karena ada phlogiston. Kini, setelah ditemukan oksigen, phlogiston tidak berarti lagi. Begitu pula instinct dalam psikologi, atau group mind dalam sosiologi. Kata-kata itu menjadi tidak berarti karena penemuan-penemuan baru yang menunjukkan kesalahan konsep yang lama.
Makna yang ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki dirinya saja. Dua makna intensional boleh jadi serupa tetapi tidak sama.
Dari klasifikasi makna Bordbeck (1963), kita sekarang melihat makna secara psikologis. Dalam tilikan psikologis, makna tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada pikiran orang, pada persepsinya. Makna terbentuk karena pengalaman individu. Makna diperoleh karena asosiasi antara stimuli asal (unconditioned stimulus) dengan stimuli yang terkondisikan.
Seorang wanita yang memberikan air susu, yang mendekap kita, yang menyanyikan lagu pengantar tidur, yang memeluk kita ketika ketakutan, dihubungkan dengan kata “ibu”. Setiap orang, karena pengalamannya, memiliki asosiasi yang berbeda terhadap kat “ibu”. Bagi anak di panti asuhan, ibu adalah kata yang membangkitkan luka batin.
Hayakawa (1964) menyebutkan adanya dua macam kata: “snarl words” (kata erangan) dan “pur words” (kata eongan). Kita semua menggunakan kata-kata seperti bunyi yang dikeluarkan kucing. Ketika kucing marah, ia menyeringai, memperlihatkan giginya, mengeluarkan kuku-kukunya, dan siap menyerang. Bunyi itu kita sebut erangan, karena kucing mengerang. Ia mengeong ketika ia mengungkapkan kesenangan atau kenikmatan. Kita mengucapkan kata erangan ketika berteriak, “Bajingan busuk, kau!” Kata-kata yang disebut tidak merujuk pada rujukan tertentu. Kata-kata itu mengungkapkan keberangan, kebencian, dan kejengkelan kita kepada orang di hadapan kita.
Brooks dan Emmert (1976: 109-110) memperluas makna “snart words” dan “pur words” ini. Mereka menyebutkan adanya kata-kata yang dianggap negatif atau positif oleh komunikate tanpa kita sadari. Bila dianggap negatif, kata-kata menimbulkan respons permusuhan seperti kalau kita menggunakan kata-kata erangan. Hal demikian terjadi karena kata-kata tersebut telah memperoleh makna tertentu pada diri komunikate, akibat pengalaman hidupnya. Di Amerika, memanggil “negro” kepada orang kulit hitam akan menyinggung perasaan mereka. “negro” menjadi kata erangan buat mereka. Brooks dan Emmert menyebut kata-kata seperti itu “hidden antagonizers” (musuh tersembunyi), karena menghancurkan komunikasi kita tanpa kita ketahui. Bagaimana kita mengetahui bahwa kata-kata tertentu adalah hidden antagonizers? Tidak ada resep yang baik selain mempertajam kepekaan kita dengan memakai latar belakang pengalaman komunikate, termasuk kelompok etnis, agama, aliran politik, dan sebagainya.
Jadi, karena pengalaman hidup berbeda, orang mempunyai makna masing-masing untuk kata-kata tertentu. Inilah yang telah kita sebut sebagai makna perorangan, tetapi bila semua makna itu bersifat perorangan, tentu tidak terjadi komunikasi. Kita melihat, kita dapat melakukan komunikasi dengan orang lain. Ini berarti ada makna yang dimiliki bersama (shared meaning). Komunikasi sering dihubungkan dengan kata latin “communis” yang artinya “sama”. Komunikasi hanya terjadi bila kita memiliki makna yang sama. Pada gilirannya, makna yang sama hanya terbentuk bila kita memiliki pengalaman yang sama. David K. Berlo (1960: 84) menulis, “People can have similar meaning to the extent that they have had similar experiences, or can anticipate similar experience.” ( Orang-orang memiliki makna yang sama bila mereka mempunyai pengalaman yang sama atau dapat mengantisipasi pengalaman yang sama.)
Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomofisme. Isomofisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama, ideologi yang sama. Pendeknya, mempunyai sejumlah maksimal pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total. Selalu tersisa ada makna perorangan.
Orang-orang dalam kelompok yang sama bahkan sering mengembangkan kata-kata yang dimiliki secara khusus oleh kelompok mereka saja. Di kalangan komunikasi dikenal kata-kata komunikator, komunikan, komunikate, pesan, umpan balik, terpaan media, setala (in tune), dan sebagainya. Orang-orang yang berkecimpung pada bagian obstetric dan ginekologi mempunyai kata-kata tersendiri buat kata-kata yang digunakannya sehari-hari. Mungkin orang-orang OB ( ini juga istilah mereka) memiliki percakapan “ghaib” yang hanya dipahami oleh mereka saja. Contohnya : Ob – bagian kebidanan, positif – meninggal dunia, partus – melahirkan, flou arbus – keputihan, defakasi – buang air besar, rhagade – luka pecah, puerperium – nifas, pelvis – panggul, anamnesa – tanya jawab, pragnosa – ramalan, dan lain sebagainya.
Perkembangan sains dan teknologi modern telah begitu jauh sehingga setiap ilmuwan hidup dalam dunianya sendiri dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Penemuan-penemuan kedokteran sebetulnya amat bermanfaat bagi setiap orang, tetapi orang awam tidak dapat memahaminya. Namun, lambang-lambang tertentu bukan hanya dikembangkan oleh kelompok profesi, tetapi juga oleh kelompok-kelompok sosial. Remaja mempunyai bahasa “prokem” : doku, bokap, bacut, biu, sableng, teller, dan sebagainya. Aktivitas masjid mengenal istilah khusyu’, iktikaf, jilbab, muhrim, ‘aurat, tadarus, bai’at, daan lain-lain. Walaupun begitu, di antara berbagai kelompok itu kita masih mempunyai isomorfisme. Butinya, kita masih dapat mengobrol dengan berbagai kelompok selama berkaitan dengan lambang-lambang yang dipahami bersama.
Tentu saja, sekali lagi isomorfisme total tidak pernah terjadi. Kita semua menyimpan makna perorangan. Lebih-lebih kalau kita berbicara tentang makna konotatif. Makna konotatif menunjukkan asosiasi emosional yang mempengaruhi reaksi kita terhadap kata-kata. Kata-kata babu, pelayan, pembantu, pramuwisma, mempunyai makna konotatif yang berbeda. Begitu pula kuli, buruh, pegawai, dan karyawan. Demokrasi bermakna konotatif yang baik, tetapi dictator bermakna konotatif yang jelek. Kita sedapat mungkin menghindari kata-kata dengan konotasi negatif dan menggantinya dengan kata-kata lain yang berkonotasi positif. Pejabat melaporkan adanya “daerah rawan pangan”, dan tidak menyebut “daerah kelaparan”. Putra ibu tidak bodoh, ia hanya “lambat belajar”. Kawan saya tidak pernah menerima uang suap; seperti yang lain, ia hanya menuntut “uang jasa”.
Sebetulnya setiap kata melahirkan konotasi yang berbeda bagi setiap orang, bergantung pada pengalaman hidupnya. Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1957) mengembangkan alat untuk mengukur makna konotatif suatu kata dengan teknik yang disebutkannya sebagai semantic differentials. Makna kita tidak selalu seperti yang tercantum dalam kamus (makna denotative). Kita tahu bahwa kata yang kita ucapkan mungkin diartikan lain oleh komunikate.
Demikianlah artikel tentang Kata-kata dan Makna yang diposting melalui blog Psikologi Komunikasi. Semoga bermanfaat untuk Anda.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment