Advertisement
Menurut Innis ( 1951 ), media mempengaruhi bentuk-bentuk organisasi sosial. Setiap media memiliki kecenderungan memihak ruang dan waktu ( communication bias ). Perekam pesan pada zaman dahulu ( seperti batu, tanah liat, kulit kayu ) sukar diangkut ketempat-tempat jauh, tetapi tahan lama. Ini berarti bias pada waktu. Kertas cetak, sebaliknya mudah diangkut kemanapun, tetapi tidak begitu tahan lama. Media cetak bias pada ruang. Bila komunikasi yang dilakukan bias pada ruang ( pesan dapat disampaikan ke tempat-tempat yang jauh ) orang cenderung bergerak ke tempat-tempat yang jauh, sehingga terjadi ekspansi territorial, mobilisasi penduduk secara horizontal, dan kekaisaran. Sebaliknya, bila komunikasi bias pada waktu, orang tinggal pada suatu ruang yang terbatas, pada kelompok yang terikat erat karena sejarah, tradisi, agama, dan keluarga. Bias waktu membawa ke masa lalu, bias ruang membawa ke masa depan. Dengan demikian, setiap media komunikasi membentuk jenis kebudayaan tertentu. Media lisan mengandung bias waktu, karena sukar didengar dari jarak jauh. Ini melahirkan masyarakat tradisional dan kekuasaan kelompok agama serta orang-orang tua. Media tulisan memiliki bias ruang. Ini melahirkan msyarakat yang menolak tradisi, meninggalkan mitos dan agama, serta berorientasi pada masa depan.
Dari Innis, McLuhan belajar banyak. Dipoles dengan teori Sapir-Whorf yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi cara berpikir, lahirlah teori “ Medium is the message “ oleh McLuhan. Menurut McLuhan, setiap media mempunyai tata bahasa tersendiri. Yang dimaksud dengan tata bahasa ialah seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan ( bias ) pada alat indra tertentu. Media adalah perpanjangan alat indra ( pidato adalah perpanjangan suara, media cetak perpanjangan penglihatan, radio perpanjangan pendengaran, dan televisi perpanjangan alat indra peraba ( meraba, menyentuh, dan system syaraf ). Karena media bias pada alat indra tertentu, media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya. Media lisan bias pada suara dan melahirkan keakraban sosial dan kehidupan kelompok. Media cetak bias pada penglihatan dan melahirkan system perseptual yang linear, urutan yang sekuensial, dan kecenderungan menata dan mengatur berdasarkan susunan tertentu. Media lisan melahirkan ikatan sosial yang erat, media cetak menimbulkan individualisme, dan televisi menyebabkan demokrasi kolektif. Menurut McLuhan, televisi akan melahirkan desa dunia ( global village ), dimana orang-orang di seluruh dunia berbagi pengalaman dan gagasan secara serentak. Televisi juga merangsang seluruh alat indra kita, mengubah persepsi kita, dan ahirnya mempengaruhi perilaku kita.
Gerbner mengecam penelitian tradisional yang menelaah media massa sebagai suatu gejala yang terpisah dari system sosial. Penelitian terdahulu difokuskan pada efek kognitif, afektif, dan behavioral dan mengesampingkan efek ideologis. Apa yang disebut ideologi ?
Setiap masyarakat mempunyai serangkaian penjelasan tentang realitas, yang merupakan gambaran terpadu dan homogen tantang apa yang ada, apa yang penting, apa berhubungan dengan apa, dan apa yang benar. Setiap masyarakat berusaha menanamkan sejenis peraturan yang menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Peraturan ini disebut dengan ideologi. Ideologi itu melahirkan dirinya dalam bentuk teks, pesan-pesan yang diproduksi lembaga-lembaga sosial dan tampak pada proses komunikasi. Distribusi pesan menciptakan lingkungan simbolis ( symbolic environment ) yang mencerminkan struktur dan fungsi lembaga yang memproduksi pesan itu. “ Ideology develops mainly, and with all its consequences, through the mass media and through television in particular “, ujar Luc van Poecke ( 1980 : 425 ) ketika mengomentari teori Gerbner.
Di antara berbagai media, televisi adalah mesin ideologi yang paling ideal. Televisi memasuki setiap rumah, mengajar orang sejak dari buaian sampai ke lubang lahat. Televisi ( begitupun media massa lainnya ) mempunyai kurikulum tersembunyi yang mengambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai kejadian, dan menjelaskan hubungan-hubungan serta makna yang ada di antara kejadian-kejadian itu. Dengan cara itu, media massa membentuk lingkungan simbolis. Untuk menganalisa efek media massa, kita harus melihat dan menelaah lingkungan simbolis yang disajikan media massa. Kita menggunakan alat analis yang disebut Gerbner sebagai indikator kurtural ( Apa hubungan antara lembaga media massa dengan lembaga-lembaga yang lain ? Bagaimana dan pada tingkat mana diambil keputusan tentang pesan? Apa pengaruh kekuasaan, peranan, dan hubungan sosial terhadap proses pemilihan, perumusan, dan penyebaran pesan ? ; Gerbner, 1973 : 559 )
Kita kembali kepada media televisi. Televis menjadi orang tua kedua bagi anak-anak, guru bagi penontonnya, dan pemimpin spiritual yang dengan halus menyampaikan nilai-nilai dan mitos-mitos tentang lingkungan. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisa akibat-akibat penanaman ideologi ini disebut cultivation analysis. Misalnya, diduga bahwa makin sering seseorang menonton televisi, makin mirip persepsinya tentang realitas sosial dengan apa yang disajikan dalam televisi. Begitu pula, pembaca surat kabar tertentu akan cenderung memandang realitas sosial sebagaimana cara memandang surat kabar tersebut.
Di sini, Gerbner mengembangkan konsep “ mainstreaming “ ( 1981 : 509-524 ). “Mainstreaming” artinya mengikut arus. Mainstreaming dimaksudkan sebagai kesamaan di antara pemirsa berat ( heavy viewers ) pada berbagai kelompok demografis, dan perbedaan dari kesamaan itu pada pemirsa ringan ( light viewers ). Bila televisi sering kali menyajikan adegan kekerasan, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan. Sementara itu penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram seperti penonton berat.
Bila yang disajikan televisi itu ternyata juga cocok dengan apa yang disaksikan pemirsanya pada lingkungannya, daya penanaman ideologi dari televisi makin kuat. Ini disebut Gerbner sebagai “ resonance “. Penonton televisi yang tinggal di daerah yang penuh kejahatan akan makin yakin bahwa dunia yang disajikan televisi adalah dunia yang sebenarnya. Baik mainstreaming maupun resonance dibuktikan Gerbner dengan data empiris.
Sekarang, marilah kita beralih pada teori imitasi dan sugesti dari David P. Phillips ( ahli sosiologi ). Ia menyebutkan bahwa teorinya bukanlah hal yang baru. Ahli-ahli sosiologi seperti Tarde, Le Bon, dan Mead telah ,membicarakan peranan imitasi dan sugesti. Begitu pula para psikolog telah banyak mengulas teori modeling. Yang baru dari Phillips ialah penggunaan kerangka teori imitasi pada efek media massa terhadap anggota-anggota masyarakat.
Yang lebih menarik lagi sebetulnya penjelasan Phillips tentang teorinya. Ia menyebut proses imitasi sebagai penularan cultural ( cultural contagion ). Ia menybutkan enam karakteristik penularan cultural :
1. Periode Inkubasi. Dalam penularan penyakit, gejala penyakit baru muncul beberapa saat setelah orang dikenai mikroorganisme. Phillips membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri berikutnya terjadi rata-rata tiga atau empat hari sesudah pemberitaan bunuh diri.
2. Imunisasi. Penyakit menular dapat dihindari dengan imunisasi. Kita dapat mengimunisasi orang terhadap penyakit cacar dengan menginjeksikan dalam dosis kecil mikroorganisme lain yang sejenis ( misalnya, cowpox ). Begitu pula, orang tidak akan terpengaruh oleh peristiwa bunuh diri bila kepadanya telah diberikan berita-berita bunuh diri yang kecil-kecil.
3. Penularan khusus atau umum. Dalam penularan biologis, mikroorganisme tertentu hanya menyebabkan penyakit tertentu. Bakteri diphteria hanya menyebabkan diphteria. Menurut Phillips, kisah bunuh diri ternyata dapat menular khusus dan juga umum. Peristiwa seseorang yang bunuh diri menyebabkan kecelakaan kendaraan yang ditumpangi oleh pengemudinya saja; tetapi juga dapat mendorong peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil.
4. Kerentanan untuk ditulari. Orang-orang yang terganggu kesehatan biologisnya mudah ditulari penyakit. Demikian pula mereka yang psikologis sakit ( misalnya rendah diri, sering gagal, kehilangan pegangan hidup ) cenderung mudah meniru peristiwa bunuh diri.
5. Media Infeksi. Beberapa penyakit ditularkan lebih efektif lewat media tertentu. Kolera lebih mudah menyebar melalui air daripada udara. Pneumonia sebaliknya. Dalam penelitian Phillips, peristiwa bunuh diri lebih cepat menular bila diberitakan oleh surat kabar daripada televisi.
6. Karantina. Penyebaran penyakit dapat dihentikan dengan mengkarantinakan individu yang menderita penyakit itu. Penderita TBC dikirim ke sanatorium. Phillips menemukan bahwa peniruan bunuh diri dapat dikurangi dengan mengurangi publisitas peristiwa bunuh diri. Ia juga menemukan bahwa berita bunuh diri yang dimuat pada halaman dalam ( halaman 3 atau 4 ) surat kabar tidak menimbulkan efek pada kematian berikutnya.
Menurut Phillips, analogi ini tidak seluruhnya benar. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Ia juga menambahkan bahwa penelitian yang dilakukannya berkenaan dengan perilaku patologis ( penyakit ). Belum banyak dilakukan penelitian perilaku nonpatologis seperti mode rambut, cara berbahasa, gaya bertingkah, dan sebagainya.
Betapapun belum sempurnanya teori Phillips, bersama teoretisi-toeretisi lainnya, ia telah memberikan kepada kita gembaran tentang efek-efek media massa.
Share this article to your friends :
0 comments:
Post a Comment