Saturday, October 26, 2013

Efek Komunikasi Massa

Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan kepada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahu bukan untuk apa kita membaca surat kabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana surat kabar atau televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap, atau menggerakkan perilaku kita.Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa. Kita pernah terkejut mendengar beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil setelah menonton film porno disuatu tempat di Indonesia, atau beberapa orang pemuda berandal yang membakar seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama pada film malam Minggu yang disiarkan televisi ABC. Pada saat yang sama, kita juga percaya bahwa surat kabar dapat menambah perbendaharaan pengetahuan kita sehingga kita masukkan koran ke desa, walaupun rakyat desa terkadang lebih memerlukan subsidi makanan yang bergizi. Kita menaruh perhatian pada peranan televisi dalam menanamkan metalitas pembangunan, sehingga kita bersedia meminjam uang untuk membali satalit komunikasi. Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan efek pada diri khalayaknya.

Waktu menjelaskan perkembangan penelitian efek komunikasi massa, kita telah melihat pasang-surut efek media massa pada pandangan peneliti. Ada suatu saat ketika media massa dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika media massa dianggap sedikit, bahkan hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Efek Komunikasi Massa
Perbedaan pandangan ini tidak saja disebabkan karena perbedaan latar belakang teoritis atau latar balakang historis, tetapi juga karena perbedaan mengartikan "efek". Misalkan, pesawat televisi masuk ke rumah Mang Ucup di salah satu desa terpencil di wilayah Indonesia. Apa yang kita sebut efek televisi ? Status sosial Mang Ucup yang lebih tinggi karena kehadiran pesawat televisi, kebiasaan tidur Mang Ucup dan keluarganya yang berubah, Bi Ucup yang mengganti abu merang padi dengan shampoo untuk mencuci rambutnya, si Ujang yang membuat pitol kayu dan menembak kucing dengan gaya Eric Estrada dalam film "Chips", atau si Nyai yang lebih senang menyanyikan lagu yang dinyanyikan Elvi Sukaesih di televisi daripada nazhom Hari Qiyamat yang diajarkan Bapak Kyai di mesjid.

Seperti dinyatakan Donald K. Robert ( Schramm dan Roberts, 1977 : 359 ), ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah "perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa". Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa. Bila kampanye KB dalam televisi menyebabkan pirsawan menjadi akseptor, atau bila anjuran memelihara lingkungan dalam sebuah acara televisi yang diikuti oleh para penontonnya dengan penanaman pepohonan pada bukit tandus, barulah boleh kita berkata telah terjadi efek. Lalu, bagaimana dengan perubahan status  sosial Mang Ucup atau perubahan jadwal tidurnya karena kehadiran pesawat televisi ? Itu bukan efek, karena itu terjadi bukan akibat terpaan pesan, tetapi akibat adanya pesawat televisi. Siaran televisi di sini tidak dipersoalkan, bo;eh jadi "Laporan Pembangunan", "Pidato Pejabat", atau "Mimbar Agama". Yang jelas, apapun yang disiarkan, status Mang Ucup tetap meningkat dan shalat shubuhnya tetap kesiangan.

Tentu saja, membatasi efek hanya selama berkaitan dengan pesan media, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media massa. Kita cenderung melihat efek media massa, baik yang berkaitan dengan pesan maupun dengan media itu sendiri.

Efek Kehadiran Media Massa

Menurut McLuhan, bentuk media saja sudah mempangaruhi kita. "The medium is the message", ujarnya. Mediun saja sudah menjadi pesan. Ia bahkan menolak pengaruh isi pesan sama sekali ( McLuhan, 1964 ). Yang mempengaruhi kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi jenis media jenis media komunikasi yang kita pergunakan ( interpersonal, media cetak, atau televisi ).

Teori McLuhan, disebut teori perpanjangan alat indera ( sense extension theory ), menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indera manusia. Telepon adalah perpanjangan telinga dan televisi adalah perpanjangan mata. Seperti Gatotkaca, yang mampu melihat dan mendengar dari jarak jauh, begitu pula manusia yang menggunakan media massa. McLuhan menulis, " Secara operasional dan praktis, medium adalah pesan. Ini berarti bahwa akibat-akibat personal dan sosial dari media....media adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia ".( McLuhan, 1964 : 23-24 ).

Walaupun kita tidak setuju sepenuhnya dengan McLuhan, ( misalnya bahwa isi pesan tidak mempengaruhi khalayak ) kita sepakat dengannya tentang adanya efek media massa dari kehadirannya sebagai benda fisik. Steven H. Chaffee menyebut lima hal yaitu efek ekonomis, efek sosial, efek pada penjadwalan kegiatan, efek pada penyaluran / penghilangan perasaan tertentu, dan efek pada perasaan orang terhadap media.

Efek ekonomis tidaklah menarik perhatian para psikolog ( memang itu bukan bidangnya ). Kita mengakui bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha ( produksi, distribusi, dan konsumsi "jasa" media massa ). Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang mensuplai kertas koran, menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi pekerjaan pada wartawan, ahli rancang grafis, pengedar, pengecer, pencari iklan, dan sebagainya. Kehadiran televisi, disamping menyedot energi litrik juga dapat memberi nafkah juru kamera, juru rias, pengarah acara, dan berbagai profesi lainnya. Dalam literatur ilmu komunikasi, hampir tidak pernah efek ekonomis ini diteliti atau diulas.

Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat kehadiran media massa. Sudah diketahui bahwa kehadiran televisi meningkatkan status sosial pemiliknya. Di pedesaan, televisi telah membentuk jaringan-jaringan interaksi sosial yang baru. Pemilik televisi menjadi pusat jaringan sosial, yang menghimpun di sekitarnya tetangga dan penduduk desa seideologi. Televisi telah menjadi sarana untuk menciptakan hubungan " patron-client " yang baru ( Suparlan, 1979 ). Efek sosial tampaknya lebih relevan dibicarakan oleh ahli sosiologi ketimbang ahli psikologi.

Yang menarik adalah efek ketiga ( Efek penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari ). Dalam penelitian tentang efek televisi pada masyarakat desa di Sulawesi Utara, Rusdi Muhtar ( 1979 ) melaporkan : "Sebelum ada televisi, orang biasanya pergi tidur malam sekitar pukul 8 dan bangun pagi sekali karena harus berangkat kerja di tempat yang jauh. Setelah ada televisi, banyak diantara mereka ( terutama muda-mudi ) yang sering menonton televisi hingga tengah malam, telah mengubah kebiasaan rutin mereka. Penduduk desa yang tua-tua mengeluh karena mereka merasa anak-anak mereka menjadi lebih malas dan lebih sukar bekerja atau berangkat ke sekolah pada waktu dini. Demikian pula, kebanyakan mereka tidak dapat bekerja seperti dulu ketika televisi belum masuk. Mereka cenderung berangkat ke ladang mereka lebih siang dan pulang lebih cepat ". Televisi telah mengubah kegiatan penduduk desa.

Itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Schramm, Lyle, dan Parker ( 1961 ) menunjukkan dengan cermat bagaimana kehadiran televisi telah mengurangi waktu bermain, tidur, membaca, dan menonton film pada sebuah kota di Amerika ( mereka menyebutnya "Teletown" ). Penelitian yang hampir sama telah dilakukan di Inggris ( Himmelweit et al, 1958 ), Norwegia ( Werner, 1971 ), dan Jepang ( Furu, 1971 ). Semuanya menunjukkan gejala yang disebut Joyce Cramond ( 1976 ) sebagai " displacement effects " ( efek alihan ) yang ia definisikan sebagai " the reorganization of activities which takes place with the introduction of television; some activities may be cut down and others abandoned entirely to make time for viewing" ( reorganisasi kegiatan yang terjadi karena masuknya televisi; beberapa kegiatan dikurangi dan beberapa kegiatan lainnya dihentikan sama sekali karena waktunya dipakai untuk menonton televisi ).

Efek alihan tertentu bukan hanya terjadi pada televisi saja. Kehadiran surat kabar, radio, video, CB, radio paging device, teminal komputer yang dihubungkan dengan pusat informasi, dan media komunikasi massa kontemporer lainnya dapat mereorganisasikan kegiatan khalayak. Surat kabar pagi akan menyebabkan pelanggan menyisihkan waktu membaca koran pada pagi hari, video recorder mengurangi frekuensi orang menonton film di bioskop, dan sebagainya.

Steven H. Chaffee menyebut dua efek lagi akibat kehadiran media massa sebagai obyek fisik yaitu hilangnya perasaan tidak enak dan tumbuhnya perasaan tertentu pada madia massa. Sering terjadi orang juga menggunakan media massa untuk menghilangkan perasaan tidak enak. Misalnya kesepian, marah, kecewa, dan sebagainya. Media dipergunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikannya. Gadis yang kesepian memutar radio tanpa mempersoalkan programa yang disiarkan, pemuda yang kecewa menonton televisi dan kadang-kadang tanpa menaruh perhatian pada acara yang disajikan, atau orang yang marah masuk ke gedung bioskop hanya sekedar untuk menenangkan kembali perasaannya. Kehadiran media massa bukan saja menghilangkan perasaan, ia pun menumbuhkan perasaan tertentu. Kita memiliki perasaan positif atau negatif pada media tertentu.

Monday, October 21, 2013

Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi khalayak pada komunikasi massa

Seperti yang telah diuraikan pada posting sebelumnya, model jarum hipodermis menunjukkan kekuatan media massa yang perkasa untuk mengarahkan  dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangka behaviorisme, media massa adalah faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaziman operan, atau proses imitasi ( belajar sosial ). Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya ( Dervin, 1981 : 74 ). Pesan komunikasi dianggap sebagai " benda " yang dilihat sama, baik oleh komunikator maupun komunikate. Model peluru, mengasumsikan semua orang memberikan reaksi yang sama terhadap pesan.

Realitas tidaklah sesederhana dunia kaum behavioris. Efek lingkungan berlainan pada orang yang berbeda. Munculnya psikologi kognitif yang memandang manusia sebagai organisme yang aktif mengorganisasikan stimuli, perkembangan teori kepribadian, dan meluasnya penelitian sikap mengubah potret khalayak. Khalayak terdiri dari individu-individu yang menuntut sesuatu dari komunikasi yang menerpa mareka. Dengan kata lain, mereka harus memperoleh sesuatu dari manipulator jika manipulator itu ingin memperoleh sesuatu dari mereka. Terjadilah tawar-menawar. Khalayak dapat membuat proses tawar-menawar yang berat ( Davison, 1959 : 360 ).

Raymond A. Bauer juga mengkritik potret khalayak sebagai robot yang passif. Ia bahkan menyebut khalayak yang kepala batu ( obstinate audience ), yang baru mengikuti pesan bila pesan itu menguntungkan mereka. Komunikasi tidak lagi bersifat linear, tetapi merupakan transaksi. Media massa memang berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor-faktor personal yang mempengaruhi reaksi mereka. Adegan kekerasan dalam televisi dapat mengilhami seseorang yang sedang dongkol untuk menyerang musuhnya tetapi adegan yang sama menimbulkan semangat polisi untuk membekuk penjahat. Untuk kebanyakan orang, adegan kekerasan itu hanya dilihat sebagai hiburan saja ( tidak lebih dari itu ). Kita akan melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi khalayak ini dengan mengulas secara sepintas penjelasan Melvin DeFleur dan Sandra Ball-Rokeach tentang teori-teori komunikasi dan pendekatan motivasional dari model uses and gratification.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi khalayak pada komunikasi massa

Teori DeFleur dan Ball-Rokeach tentang pertemuan dengan media

DeFleur dan Ball-Rokeach melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan tiga kerangka yaitu : perspektif perbedaan individual, perspektif kategori sosial, dan perspektif hubungan sosial.

Perspektif perbedaan invidual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Setiap orang mempunyai potensi biologis. Pengalaman belajar, dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media massa yang berbeda pula.

Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial. yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, tempat tinggal, dan keyakinan beragama menampilkan kategori respons. Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya dengan cara yang hampir sama pula.

Perspektif hubungan sosial menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Informasi bergerak melewati dua tahap.Tahap pertama, informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Tahap kedua, informasi bergerak dari orang-orang pemuka pendapat dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi.

Secara singkat, berbagai faktor akan mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Faktor-faktor ini meliputi organisasi personal-psikologis individu seperti potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan, serta bidang pengalaman ( kelompok-kelompok sosial di mana individu menjadi anggota, dan hubungan-hubungan interpersonal pada proses penerimaan, pengelolaan, dan penyampaian informasi ). Untuk memperjelas kesimpulan ini, ambillah contoh penggunaan media. Diduga orang yang berpendidikan rendah jarang membaca surat kabar, tetapi sering menonton televisi. Eksekutif dan kaum bisnis menyenangi rubrik niaga dalam surat kabar atau majalah. Telah diteliti bahwa kelompok menengah ( middle class ) cenderung menyukai acara pendidikan, berita, dan informasi. Contoh-contoh ini telah membawa kita pada model uses and gratification.

Pendekatan Motivasional dan Uses and Gratification

Apa yang mendorong kita menggunakan media ? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y ? Bila anda kesepian, mengapa anda lebih senang mendengarkan musik klasik daripada membaca novel ? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita ? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and gratification.

Menurut para pendirinya ( Elihu Katz, Jay G. Blumer, dan Michael Gurevitch ), uses and gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan ( keterlibatan pada kegiatan lain ) dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar dari teori ini yaitu :

1. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan.
4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan khalayaknya, artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Model uses and grification memandang individu sebagai mahluk suprarasional dan sangat selektif. Ini memang mengandung kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.

Motif Kognitif dan Gratifkasi Media

Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan, McGuire menyebut empat teori yaitu :

1. Teori konsistensi, memandang manusia sebagai mahluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik itu mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya, atau di antara beberapa hubungan sosial, atau diantara pengalaman masa lalu dan masa kini.

Dalam suasana konflik, manusia resah dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan sedapat mungkin mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi, atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik. Dalam hubungan ini, komunikasi massa mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologi individu. Tetapi pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsisitensi.Komunikasi massa kadang-kadang lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persoalan tanpa terhambat oleh gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.

2. Teori atribusi, memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Komunikasi massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan penyajian realitas yang disimplifikasikan, dan didasarkan stereotip. Media massa sering menyajikan kisah-kisah ( fiktif atau aktual ) yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Beberapa kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dari norma yang luas dianut masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dari kelompoknya. Orang-orang lesbian atau homoseks yakin akan perilakunya bukanlah pemyimpangan karena membaca buku atau majalah yang mendukungnya.

3. Teori kategorisasi, memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya. Untuk setiap peritiwa sudah disediakan tampat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat. Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya. Pandangan ini menunjukkan bahwa isi komunikasi massa yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori yang ada.

4. Teori objektifikasi, memandang manusia sebagai mahluk yang pasif, yang tidak berpikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyatakan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak. Kita menyimpulkan bahwa kita menyenangi satu acara televisi karena kita sering menontonnya. Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau memberikan kriteria pembanding yang ekstrem untuk perilakunya yang kurang baik.

Keempat teori di atas ( konsistensi, atribusi, kategorisasi, dan objektifikasi ) menekankan aspek kognitif dari kenutuhan manusia, yang bertitik tolak dari individu sebagai mahluk yang memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif berikutnya ( otonomi, stimulasi, teleologis, dan utilitarian ) melukiskan individu sebagai mahluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya.

1. Teori otonomi, melihat manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom ( teori ini dikembangkan oleh psikolog-psikolog mazhab humanistik ). Dalam kerangka teori ini, kepribadian manusia berkembang melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu.

2. Teori stimulasi, memandang manusia sebagai mahluk yang " lapar stimuli " yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya.

3. Teori teleologis, memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mencocokkan persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang dikehendaki. Teori ini menggunakan komputer sebagai analogi otak. Dalam kerangka teori ini media massa merupakan sumber pemuasan kebutuhan yang subur. Isi media massa sering memperkokoh moralitas konvensional dan menunjukkan bahwa orang yang berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya.

4. Teori utilitarian, memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam teori ini, hidup dipandang sebagai satu medan yang penuh tantangan, tetapi juga yang dapat diatasi dengan informasi yang relevan.

Motif afektif dan gratifikasi media

Motif afektif ditandai oleh kondisi perasaan atau dinamika yang menggerakkan manusia mencapai tingkat perasaan tertentu. Seperti di atas, kita akan memulai dengan motif-motif yang ditunjukkan untuk memelihara stabilitas psikologis dan motif-motif yang mengembangkan kondisi psikologis. Pada kelompok pertama kita masukkan teori reduksi tegangan, teori ekspresif, teori egodefensif, dan teori peneguhan. Pada kelompok kedua kita memasukkan teori penonjolan, teori afiliasi, teori identifikasi, dan teori peniruan.

Teori reduksi tegangan, memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurangan tegangan. Manusia dipandang sebagai mahluk yang mencoba mencapai suasana " nirwana ". Orang berusaha menghilangkan atau mengurangi tegangan dengan mengungkapkannya. Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut kerangka teori ini, komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristiwa-peristiwa atau adegan kekerasan. Menurut teori ini, penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang jagoan dalam film di televisi.

Teori ekspresif, menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya ( menampakkan perasaan dan keyakinannya ). Latihan yang berat untuk memperoleh keterampilan fisik misalnya, terasa menynangkan karena memberikan tantangan untuk menunjukkan kemampuan diri. Komunikasi massa mempermudah orang untuk berfantasi melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya.

Teori egodefensif, beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan kita berusaha untuk mempertahankan citra diri ini serta berusaha hidup sesuai dengan diri dan dunia kita. Teori ini memberikan penjelasan mengapa terjadi perhatian selektif atau pemberian makna terhadap pesan komunikasi yang mengalami distorsi. Dari media massa kita memperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita, pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifat-sifat manusia dan hubungan sosial. Bila kita merumuskan konsep-konsep tersebut, komunikasi massa membantu memperkokoh konsep itu.

Teori peneguhan, memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu. Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya.

Teori Penonjolan ( assertion ), memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari orang lain. Manusia ingin mencapai prestasi,sukses, dan kehormatan. Masyarakat dipandang sebagai suatu perjuangan di mana setiap orang ingin menonjol dari yang lain.

Teori afiliasi ( affiliation ), memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain. Ia ingin memelihara hubungan baik dalam hubungan interpersonal dengan saling membantu dan saling mencintai. Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam menghubungkan individu dengan individu lain. Tidak jarang isi media massa juga dipergunakan orang sebagai bahan percakapan dalam membina interaksi sosial. Di samping itu, media massa juga dapat menjafi sahabat akrab bagi khalayaknya yang setia.

Teori identifikasi, melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang memuaskan pada konsep dirinya. Kepuasan diperoleh bila orang memperoleh identitas peranan tambahan yang meningkatkan konsep dirinya.

Teori peniruan ( modeling theories ), hampir sama dengan teori identifikasi. Teori peniruan memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengembangkan kemampuan efektifnya. Tetapi, berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Di sini, individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orang-orang yang diamatinya dan meniru perilakunya. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh khalayaknya. Media cetak mungkin menyajikan pikiran atau gagasan yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti daripada yang dikemukakan oleh orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah melacak berbagai teori motivasi, kita dapat menyimpulkan bahwa orang menggunakan media massa karena didorong oleh beraneka ragam motif. Menurut "aliran" uses and gratification, perbedaan motif dalam kensumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Lebih lanjut ini berarti bahwa efek media massa juga berlainan pada setiap anggota kha;ayaknya. Kepada pencari informasi, media massa diduga mempunyai efek kognitif yang menguntungkan. Kepada pencari identitas, media massa mungkin menimbulkan efek efektif yang mengerikan. Kepada pencari model, media massa mungkin mendorong perilaku yang meresahkan.

Friday, October 18, 2013

Sejarah Penelitan Efek Komunikasi Massa

Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. Barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang tergoncangkan oleh apa yang terjadi pada waktu itu. Begitulah Hadley Cantril memulai tulisannya tentang The Invasion of Mars ( Schramm, 1977 : 579 ).

Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Dalam cerita itu dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para profesor dari beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan Jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata. Pendengar menganggapnya peristiwa sebenarnya. "Sebelum siaran itu berakhir", begitu dilaporkan Centril, " diseluruh Amerika Serikat orang berdoa, menangis, melarikan diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars. Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya, ada yang menelpon menyampaikan ucapan perpisahan atau peringatan, ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulance dan mobil polisi. Sekurang-kurangnnya satu juta manusia ketakutan mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta manusia ketakutan atau tergoncangkan".

Peritiwa itu menarik beberapa orang peneliti sosial yang menurutnya suatu peristiwa langkah telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama  Father Coughlin ( Teknik-teknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for Propaganda Analysis ). Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebarkan. Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di italia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia juga Lenin berhasil merebut kekuasaan dengan menggunakan media massa pula.
Sejarah Penelitan Efek Komunikasi Massa
Tetapi benarkah media massa perkasa ? Menurut Noelle - Neumann, penelitian efek media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan. Efeknya tidak begitu berarti. Ini diperkokoh oleh psikolog sosial William McGuire yang menulis bahwa dampak media massa hasil pengukuran dalam hubungannya dengan daya persuasif tampaknya kecil saja. Sejumlah besar penelitian telah dilaksanakan untuk menguji efektivitas media massa, hasilnya sangat memalukan bagi pendukung media massa karena ternyata sedikit sekali adanya bukti perubahan sikap, apalagi perubahan perilaku nyata.

Agak mengherankan, memang. Pada satu sisi, kita melihat kejadian-kejadian yang menunjukkan pengaruh media massa. Pada sisi lain, peneliti sosial menunjukkan tidak ada pengaruh yang cukup berarti. Manakah yang betul ? Perkasakah media massa atau tidak ?

Penelitian efek komunikasi mengungkapkan pasang surut kekuatan media massa. Dari media massa yang perkasa, kepada media massa yang berpengaruh terbatas, dan kembali lagi pada media massa yang perkasa.

Hingga tahun 1940, pada pasca Perang Dunia I, kekuatan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat desrtasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur ( 1975 ) sebagai "instinctive S-R theory". Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hempir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons yang sama pada stimili yang datang dari media massa ( DeFleur, 1975:159 ). Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa. Teori ini disebut juga teori peluru ( bullet theory ) atau modedl jarum hipodermis ( Rakhmat, 1984 ), yang menganalogikan pesam komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasian. Elisabeth Noelle - Neumann ( 1973 ) menyebut teori ini " The concept of powerful mass media ".

Pada tahun 1960-an, Carl I. Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimantal untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Cooper dan Jahooda meneliti pengaruh film " Mr. Bigott " yang ditujukan untuk menghilangkan rasial. Mereka menemukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas pesan. Serangan terbesar pada model peluru adalah penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawan dari Columbia University pada pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu pada perilaku pemilih. Daerah sampel yang dipilih adalah Erie County, di New York. Karena itu, penelitian mereka lazim dikenal dengan sebutan Erie County Study.

Apa yang ditemukan Paul Lazarsfeld ? Mengejutkan. Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai " Agent of conversion " ( Media untuk mengubah perilaku ), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media massa juga disaring oleh pemuka pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan daripada media massa. Khalyak juga bukan lagi tubuh passif yang menerima apa saja yang disuntikkan ke dalamnya. Khalayak menyaring informasi melalui proses yang disebut terpaan seletif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective perception).

Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu Psikologi kognitif datang dengan " theory of cognitive dissonance" (teoti disonansi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950-an makin membuktikan keterbatasan pengaruh media massa. Ahli sosiologi menyimpulkan penelitian pada periode itu dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan kelucuannya. Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku The Effects of Mass Communication. Dari rangkuman hasil-hasil penelitian, Klapper antara lain menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktor-faktor perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif ( persepsi selektif, terpaan selektif, ingatan selektif, proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinen opini ).

McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada periode ini sebagai berikut :
1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.
2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi.
3. Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki.
4. Sejauh man suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa ( komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting."
5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat  dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok.
6. Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan menetukan efek yang terjadi. ( McQuail, 1975:47-48 )

Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek madia massa pada orang, para peneliti sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media. Fokus penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate, dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuihannya. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan pendekatan " uses and gratification " ( panggunaan dan pemuasan ).

Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz ( 1959 ) sebagai reaksi terhadap Bernard Berelson yang mengatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek media massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian tentang usaha untuk menjawab pertanyaan : " what do peoledo with the media ? ". Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper.

Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw. Model agenda setting tampaknya mempengaruhi  kembali penelitian efek, yang diabaikan oleh model uses and gratification. Perbedaanya yang utama dari model jarum hipodermis adalah fokus penelitian. Bila model yang disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap dan pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan. Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek efektif ke efek kognitif.

Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Bila media massa sering memuat nama seseorang, maka orang itu akan cenderung dianggap tokoh yang penting. Bila surat kabar memuat secara besar-besaran pernikahan seorang ratu, maka pernikahan itu akan menjadi bahan pembicaraan khalak pula. Begitu pula bila televisi sering menampilkan adegan kekerasan, orang rajin menontonnya akan menganggap dunia ini penuh dengan tindakan-tindakan kejahatan. Pendeknya, media massa memilih informasi yang dikehendaki berdasarkan informasi yang diterima, dan khalayak membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa. Mungkin ucapan Bernard Cohen ( ahli ilmu politik ), berhasil menyimpulkan model agenda setting dengan dua kalimat sebagai berikut : " It may not be successful much of the time in telling people what to think but it is stunningly successful in telling its readers what to think about." ( Cohen, 1963:13 ). Model agenda setting masih tetap dikembangkan sampai sekarang. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan para peneliti kelihatan mau kembali kepada efek komunikasi yang perkasa.

Pada awal 1970-an, kampanye media massa terbukti mempunyai efek yang penting terhadap sikap dan perilaku. Mendelsonn ( 1973 ) menunjukkan bagaimana kampanye CBS perihal keselamatan pengemudi telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada kursus latihan mengemudi. Maccoby mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi penderita penyakit jantung.

Di Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann dapat dianggap sebagai sarjana yang menekankan pentingnya kembali kepada konsep efek perkasa dari media massa. Menurut Noelle-Neumann, penelitian terdahulu tidak memperhatikan tiga faktor penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama dalam membatasi persepsi yang selektif. Faktor itu adalah ubiquity, kumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.

Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada dimana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan ( consonance of journalists ). Siaran berita cenderung sama, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarakan informasi yang diterimanya dari media massa.

Secara singkat, kita telah melacak perkembangan penelitian komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai sekarang. Kira-kira berlangsungnya dalam kurun waktu kurang lebih setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban manusia. Namun beberapa puluh tahun terakhir ini, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat dari pada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad technetronic ( teknologi elektronis ) yang akan datang. Tetapi, manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol lingkungan.Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami lingkungan secara fenomenologis.

Monday, October 14, 2013

Sistem Komunikasi Massa versus Sistem Komunikasi Interpersonal

Secara sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa yakni suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film. Bila sistem komunikasi massa diperbandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal, secara teknis kita dapat menunjukkan empat tanda pokok dari komunikasi massa ( menurut Elizabeth-Noelle Neuman, 1973:92 ) :
1. Bersifat tidak langsung, artinya harus melewati media teknis.
2. Bersifat satu arah, artinya tidak ada interaksi antara pesrta-pesrta komunikasi ( para komunikan ).
3. Bersifat terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim.
4. Mempunyai publik yang secara goegrafis tersebar.

Karena perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal. Ini tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indera, dan proporsi unsur isi dengan hubungan.Marilah kita melihat hal ini satu per satu.
Pengendalian Arus Informasi

Mengendalikan arus informasi berarti mengatur jalannya pembicaraan yang disampaikan dan yang diterima. Ketika anda membaca tulisan ini, anda tidak dapat menghentikan penulisan posting ini dengan perkataan, "Sebentar dulu, ada yang belum saya pahami. Jelaskan kembali setiap defenisi yang dituliskan pada postingan ini." Anda terpaksa harus mengikuti apa yang saya tulis pada posting ini dan tidak dapat mengarahkan tulisan pada postingan ini. Anda tentu boleh memberikan garis bawah pada begian-bagian yang penting, atau mengacuhkan postingan ini, atau mengulang kembali yang sudah anda baca. Mengapa? Karena saya dengan anda sekarang sedang terlibat dalam proses komunikasi massa. Blog ini adalah medianya.
Sistem Komunikasi Massa versus Sistem Komunikasi Interpersonal
Tentu saja, dalam sistem komunikasi interpersonal, misalnya dosen anda sedang memberikan kuliah dihadapan anda dan teman-teman sefakultas lainnya tentang efek medi massa. Anda tentu dapat mengarahkan perilaku komunikasi dosen anda. Bila dosen berbicara "ngawur", anda dapat menegur dosen anda dan mengembalikan dosen anda pad "jalan yang lurus". Begitupun sebaliknya bila anda mengantuk, maka dosen anda dapat membangunkan anda untuk memperhatikan kembali tentang mata kuliah yang sedang ia berikan.Anda dan dosen anda dapat mengendalikan arus informasi seperti apa yang dikehendaki. Keadaan ini mempengaruhi efek psikologi peristiwa komunikasi. Menurut Cassata dan Asante ( 1979 : 12 ), bila arus komunikasi hanyadikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif. Mungkin dengan penjelasan inilah kita dapat memahami mengapa belajar langsung dari guru lebih memudahkan pengertian dibanding sekedar membaca buku. Tetapi pendapat Cassata dan Asante tidak dapat menjelaskan mengapa komunikasi interpersonal lebih efektif untuk mengubah sikap dari komunikasi massa ( yang arus informasinya dikontrol sepenuhnya oleh sumber ). Marilah keheranan ini kita serahkan saja kepada kedua Cassata dan Asante. Tetapi kita akan sepaham dengan mereka, bahwa dalam sistem komunikasi massa, komunikator sukar menyesuaikan pesannya dengan reaksi komunikate. Dalam istilah komunikasi, reaksi khalayak yang dijadikan masukan buat proses komunikasi berikutnya disebut umpanbalik ( feedback ).
Umpanbalik ( feedback )

Istilah umpanbalik sudah cukup populer di tengah-tengah masyarakat. Umpanbalik berasal dari teori sibernetika ( cybernetics ) dalam mekanika, teori mekanistis tentang proses mengatur diri secara otomatis. Orang yang dianggap penemu sibernetika adalah Nobert Wiener ( 1954 ) yang menulis buku Cybernetics and Society. Wiener memandang komunikasi dan kontrol itu identik. Sistem sibernetika menjelaskan sistem komunikasi yang mengontrol fungsi sistem mekanis. Umpanbalik adalah metode mengontrol sistem. Dalam sibernetika, umpanbalik adalah keluaran ( output ) sistem yang "dibalikkan" kembali ( feedback ) kepada sistem sebagai masukan ( input ) tambahan dan berfungsi mengatur keluaran berikutnya.

Dalam komunikasi, umpanbalik dapat diartikan sebagai respons, peneguhan, dan servomekanisme internal ( Fisher, 1978 : 286-299 ). Sebagai respon, umpanbalik adalah pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberi tahu sumber tentang reaksi penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku selanjutnya. Dalam pengertian ini, umpanbalik bermacam-macam jumlah dan salurannya. Ada situasi ketika saluran mengangkut banyak umpanbalik atau tidak ada umpanbalik sama sekali ( dari free feedback sampai kepada zero feedback ). Umpanbalik dapat juga lewat satu saluran saja atau lewat berbagai saluran. Bila kita membalas surat, umpanbalik tidak dapat datang lewat saluran bunyi. Ketika anda mengobrol, umpanbalik terjadi lewat saluran mata, telinga, dan alat indera lainnya.

Umpanbalik sebagai peneguhan ( reinforcement ) bermula dari psikologi behaviorisme. Respons yang diperteguh akan mendorong orang untuk megulangi respons tersebut. Sebaliknya, respons yang tidak mendatangkan ganjaran atau tidak diperteguh akan dihilangkan. Dalam hubungan ini, umpanbalik adalah respons yang berfungsi mendorong atau merintangi kelanjutan perilaku.

Umpanbalik sebagai servomaknisme berasal dari mekanika. Dalam setiap sistem, selalu ada aparat yang memberikan respons pada jalannya sistem. Ambillah rice cooker ( penanak nasi ) sebagai contoh. Masukkan beras dan air ke dalamnya. Nyalakan penanak nasi anda. Nanti, bila panas penanak itu mencapai panas tertentu, panas akan masuk ke dalam sistem elektris dan mematikan alat itu secara otomatis. Panas itu menjadi umpanbalik yang megatur mekanisme penanak nasi. Mowrer ( 1954 ) memasukkan konsep ini ke dalam mekanisme psikologis. Belajar menimbulkan servomakanisme dalam individu. Sikap, yang diperoleh melalui belajar, diinternalisasikan dalam diri individu sebagai mekanisme yang menstabilkan perilaku individu. Konsep ini seperti yang dinyatakan Fisher ( 1978 ), masih sangat kotroversial.

Dalam kerangka umpanbalik yang diuraikan di atas, marilah kita lihat perbedaan sistem komunikasi interpersonal dan sistem komunikasi massa. Umpanbalik sebagai respons mempunyai volume yang tidak terbatas dan lewat berbagai saluran pada komunikasi interpersonal. Tidak demikian pada komunikasi massa; umpanbalik sebagai respons boleh dikatakan hanyalah  zero feedback Dari segi ini, kita dapat mengatakan komunikasi massa adalah komunikasi yang satu arau. Feedback loop tidak terjadi.

Lalu, bagaimana peranan umpanbalik sebagai servomakanisme. Dalam sistem komunikasi interpersonal, sikap berfungsi sebagai servomakanisme. Bila pembicaraan orang yang pidato mengandung hal-hal yang mengancam kepentingan kita, kita akan seger manyaring pembicaraan secara selektif, menafsirkan secara sepihak, atau berusaha tidak mendengarkannya sama sekali. DFengan cara itu, keseimbangan psikologis kita akan tetap terpelihara. Dalam sistem komunikasi massa, dengan menggunakan model terpadu efek media dari De Fleur dan Ball Rockeach ( 1975 ), servomekanisme terjadi karena kendala ekonomi, nilai, teknologi, dan organisasi yang terdapat dalam sistem media. Bila berita diterima tidak sesuai dengan kebiksanan media yang bersangkutan, berita itu akan diinterpretasikan, didistorsi, atau tidak dimuat sama sekali.

Stimulasi Alat Indera

Dalam komunikasi interpersonal, seperti telah kita uraikan pada umpanbalik, orang menerima stimuli lewat seluruh alat inderanya. Ia dapat mendengar, melihat, mencium, meraba, dan merasa. Dalam komunikasi massa, stimuli alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar. Pada televisi dan film, kita mendengar dan melihat.

McLuhan ( 1964 ) pernah populer pada tahun 60-an ketika ia menguraikan perkembangan sejarah berdasarkan penggunaan media massa. Ia membagi sejarah umat manusia pada tiga babak :
1. Babak tribal, ketika alat indera manusia bebas menangkap berbagai stimuli tanpa dibatasi teknologi komunikasi.
2. Babak gutenberg, ketika mesin cetak menyebabkan orang berkomunikasi secara tertulis dan membaca dari kiri ke kanan ; di sini, hanya indera mata yang mendapat stimuli, sehingga manusia akan cenderung berpikir linear ( seperti membaca dari kiri ke kanan ).
3. Babak Neotribal, ketika alat-alat elektronis memungkinkan manusia manusia menggunakan beberapa macam alat indera dalam komunikasi.

Pada tahun 1970-an, teori McLuhan banyak dikritik. Tetapi, ajaran McLuhan disentuh di sini untuk menunjukkan pengaruh yang berbeda-beda dari media massa karena perbedaan stimuli alat indera yang ditimbulkannya.

Proporsi Unsur Isi dengan Hubungan

Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubungan sekaligus. Pada komunikasi interpersonal, unsur hubungan sangat penting. Sebaliknya, pada komunikasi massa, unsur isilah yang penting. Ketika anda berkomunikasi dengan pasangan hidup anda ( suami atau isteri ), pesan yang anda sampaikan tidak berstruktur, tidak sistematis, dan sukar disimpan atau dilihat kembali ( retrieval ). Anda tidak pernah mengatakan, "Marilah kita bagi obrolan hari ini menjadi empat bab : bab keluarga, bab keuangan, bab tetangga, dan bab mertua." Apa yang sudah dibicarakan juga sukar didengar kembali ( kecuali jika anda merekamnya ). Dalam komunikasi interpersonal, yang menetukan efektivitas bukanlah struktur, tetapi aspek hubungan manusiawi, bukan "apanya" tetapi "bagaiman".

Sistem komunikasi massa justru menekankan "apanya". Berita disusun berdasarkan sistem tertentu dan ditulis dengan menggunakan tanda-tanda baca dan pembagian paragraf yang tertib. Pidato Pidato radio juga disampaikan dengan urutan yang sistematis., dan acara televisi sudah jelas disiarkan sesuai dengan struktur yang ditetapkan. Pada media massa juga dapat dilihat atau didengar kembali. Bagian-bagian berita yang penting dapat dikliping dan dilihat kembali bila diperlukan. Televisi sering mengadakan siaran ulangan. Pesan media massa dapat disimpan, diklasifikasi, dan didokumentasikan.

Sunday, October 13, 2013

SISTEM KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi mutakhir telah menciptakan apa yang disebut "publik dunia" atau "Weloffentlichkeit" ( Dofiat : 1967 ). Pendaratan manusia di bulan, pembunuhan massal di Lebanon dapat disaksikan di seluruh penjuru dunia. Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi ini, meningkat pula kecemasan tentang efek media massa terhadap khalayaknya.

Dofiat mengingatkan kita tentang kemungkinan dikontrolnya media massa oleh segelintir orang untuk kepentingannya sendiri, sehingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya. George Orwell ( futuris lainnya ), meramalkan suatu dunia pada tahun 1984. Dalam ramalan tersebut seorang diktator mengendalikan pikiran dan tingkah laku rakyat dengan teknologi komunikasi yang cermat dan rumit ( Tahun 1984 sudah tiba, dan ramalan Orwell tampaknya tidak terjadi ).

Di negara-negara maju, efek komunikasi massa telah beralih dari ruang kuliah ke ruang pengadilan, dari polemik ilmiah diantara para profesor ke debat parlementer diantara anggota badan legislatif. Di negara berkembang, efek komunikasi telah merebut perhatian berbagai kalangan mulai dari politisi, tokoh agama, penyair, sampai ke petani. Politisi, baik karena kerakusan atau kekuatan mencoba untuk melunakkan pengaruh media massa atau mengendalikannya. Tokoh agama mencamaskan hilangnya warisan rohaniah yang tinggi karena penetrasi media erotika. Penyair mengeluh karena gadis-gadis desa tidak lagi mendendangkan lagu-lagu tradisional yang seronok. Petani telah menukarkan kerbaunya dengan radio transistor atau televisi.
SISTEM KOMUNIKASI MASSA
Walaupun hampir semua orang menyadari efek komunikasi massa, sedikit sekali orang yang memahami gejala komunikasi massa. Akibatnya komunikasi massa telah dipandang secara ambivalen. Pengutuk menimpakan segala "dosa" dan kegagalan pada komunikasi massa, pemuja mengharapkan segala "jasa" dan keberhasilan daripadanya.

Psikologi telah lama menelaah efek komunikasi massa pada perilaku penerima pesannya. Annual Review of Psychology hampir selalu menyajikan berbagai hasil penelitian psikologis tentang efek komunikasi massa. Sesuai dengan kerangka faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhi perilaku manusia, kita akan melihat bagaimana karakteristik individu mempengaruhi penggunaan media, disamping meneliti pengaruh media massa pada sistem kognitif dan sistem efektif khalayaknya. Kita akan berusaha menjawab pertanyaan : betulkah media massa itu amat kuat dalam megubah sikap dan perilaku khalayak ? Betulkah media massa tidak hanya sanggup memperkokoh nilai, sikap, dan perilaku, tetapi juga sanggup membentuk, mengarahkan, dan megubahnya ?

Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi massa. Setelah itu, secara selintas kita akan melacak sejarah penelitian komunikasi massa. Barulah kemudian menjenguk secara khusus efek komunikasi dalam menambah pengetahuan khalayak dan mempengaruhi sikap mereka.

Pengertian Komunikasi Massa

Devenisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan Bittner ( 1980 : 10 ) : "Mass communication is message communicated through a mass medium to a large number of people" ( Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang ). Ini mengundang banyak pertanyaan: apakah komunikasi massa itu pesan atau proses ? Apa yang mebedakan komunikasi massa dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi media ?

Ahli komunikasi yang lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik komunikasi massa. Gerbner ( 1967 ) menulis, "Mass communication is the technologycally and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies" ( Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkesinambungan serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri ). Maletzke ( 1963 ) menghimpun menghimpun banyak devinisi diantaranya :

1. Komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar.

2. Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat.

3. Bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut : diarahkan pada khalayak yang lebih besar, heterogen, dan anonim ( pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak ), bersifat sekilas ( komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan biaya besar ).

Merangkum defenisi-defenisi di atas, disini komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan "dapat" dalam definisi ini menekankan pengertian bahwa jumlah sebenarnya penerima komunikasi massa saat tertentu tidaklah esensial. Yang penting, seperti yang dikatakan Alexis S. Tan ( 1981 : 73 ), "The communicator is a social organization capable of reproducting the message and sending it simultaneously to large number of people who are spatially separated."

Thursday, October 10, 2013

Pengertian Komunikasi Antar Pribadi

Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama. Manusia juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena manusia mempunyai ke1uarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan. Keluarga merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari masyarakat tempat keluarga berada.

Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.

Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antar pribadi akhirnya menuju pada perspektif situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (dalam Liliweri, 1991) merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antar pribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga.

Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya. Pada tahap ini maka komunikasi antar individu harus manusiawi, sehingga individu-individu yang tidak mengenal satu sama lain mutu komunikasinya kurang daripada komunikasi antar pribadi di antara pihak-pihak yang sudah sating mengenal sebelumnya.     Komunikasi antar pribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak memahami secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran, perasaan, maupun menanggapi tingkal laku. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antar pribadi yang bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.
Pengertian Komunikasi Antar Pribadi
Batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antar pribadi tidak ada yang memuaskan semua pihak. Semua batasan arti sangat tergantung bagaimana individu melihat dan mengetahui perilaku pada saat terdapat dua individu atau lebih yang saling mengenal secara pribadi daripada hanya berbasa-basi saja. Dengan kata lain, tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua individu dapat digolongkan komunikasi antar pribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi antara dua individu harus terlewati untuk menentukan komunikasi antar pribadi benar-benar dilakukan.

Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua individu merupakan komunikasi antar pribadi (Liliweri, 1991). Sifat-sifat komunikasi antar pribadi itu adalah :
1. Melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal.
2. Melibatkan perilaku spontan, tepat, dan rasional.
3. Komunikasi antar pribadi tidaklah statis, melainkan dinamis.
4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi, dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya).
5. Komunikasi antar pribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
6. Komunikasi antar pribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan.
7. Melibatkan di dalamnya bidang persuasif.

Lebih lanjut, Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi antar pribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai siaft keterbukaan, kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antar pribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya.

Lunandi (1992) menekankan pentingnya komunikasi antar pribadi dibedakan dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil. Komunikasi antar pribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh (telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi). Ada bentuk pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan komunikasi antar pribadi sebagai bentuk yang berbeda dari bentuk lain komunikasi. Komunikasi antar pribadi sebagai suatu kegiatan terus menerus yang dilakukan orang untuk saling berhubungan dengan orang lain, khususnya pada waktu berhadapan muka.

Miller dan Steinberg (dalam burgoon dan Ruffner, 1978) telah membuat sumbangan pemikiran yang penting untuk memahami komunikasi manusia dengan menyajikan cara mengkonsep bentuk komunikasi antar pribadi. Asumsinya adalah manusia mempunyai kemampuan menyeleksi strategi komunikasi yang akan memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam komunikasi yang dilakukan. Manusia ternyata mampu untuk membuat prediksi tentang akibat dan hasil dari komunikasi yang dilakukan.

Miller dan Steinberg (dalam burgoon dan Ruffner, 1978) telah membuat sumbangan pemikiran yang penting untuk memahami komunikasi manusia dengan menyajikan cara mengkonsep bentuk komunikasi antar pribadi. Asumsinya adalah manusia mempunyai kemampuan menyeleksi strategi komunikasi yang akan memaksimalkan kemungkinan untuk berhasil dalam komunikasi yang dilakukan. Manusia ternyata mampu untuk membuat prediksi tentang akibat dan hasil dari komunikasi yang dilakukan.

Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk komunikasi antar pribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu:

1.  Data tingkat kebudayaan ( Cultural level-data ).

Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial, kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai kesamaan cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu. Dengan demikian, kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota kelompok kebudayaan tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon orang lain. Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman. Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan. Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan mempunyai kepribadian sendiri-sendiri.

Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu yang berbeda-beda.

2. Data tingkat sosiologis ( Sociological-level data ).

Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk. Ada pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang bersangkutan, misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja. Bagaimanapun juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih sendiri maupun tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu kelompok. Antar kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri dari masing-masing bentuk kelompoknya.

Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan setiap kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.

3. Data tingkat psikologis ( Psychological-level data ). 

Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi. Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain mengenai dirinya.

Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin. Dapat dibayangkan bila seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan.

Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang perbedaan individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan tidak dapat digeneralisasikan begitu saja.

Jadi, di dalam komunikasi antar pribadi yang lebih ditekankan adalah strategi komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan dan sosiologis digunakan sebagai pelengkap di dalam mengumpulkan data tentang seseorang yang sedang dihadapi.

Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam melakukan transaksi komunikasi antar pribadi, juga dibutuhkan kemampuan-kemampuan khusus. Bochner dan Kelly (dalam landt, 1976) mengemukakan 5 kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antar pribadi, yaitu:
1. Empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan.
2. Diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan diskriptif.
3. Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami.
4. Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi.
5. Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari batasan tentang komunikasi antar pribadi adalah bahwa komunikasi antar pribadi lebih dari sekedar komunikasi tatap muka, namun dari komunikasi tatap muka lebih memungkinkan untuk dikembangkan menjadi komunikasi antar pribadi. Mengembangkan komunikasi antar pribadi dapat dengan melakukan analisis data tingkat psikologis yang menekankan bahwa individu berbeda-beda, dan pendekatannya juga berbeda-beda. Dari komunikasi tatap muka besar kemungkinan dikembangkan hubungan yang bersifat hangat, terbuka, dan komunikasi tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi yang bersangkutan.

Wednesday, October 9, 2013

Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal

Pola-pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada hubungan interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang menjadi soal bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan. Tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Bila antara anda dengan saya berkembang sikap curiga, makin sering anda berkomunikasi dengan saya makin jauh jarak kita. Lalu, apa saja faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik? Disini kita akan menyebutkan tiga hal yaitu : percaya, sikap suportif, dan sikap terbuka.

A. Percaya ( trust )

Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, faktor percaya adalah yang paling penting. Bila saya percaya kepada anda, bila perilaku anda dapat saya duga, bila saya yakin anda tidak akan menghianati atau merugikan saya, maka saya akan lebih banyak membuka diri saya kepada anda. Sejak tahap yang pertama dalam hubungan interpersonal ( tahap perkenalan ), sampai pada tahap kedua ( tahap peneguhan ), "percaya" menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah, "percaya" didefinisikan sebagai "mengendalikan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko" ( Giffin, 1967:224-234 ). Defenisi ini menyebutkan tiga unsur percaya:

Yang pertama, ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi risiko. Risiko itu dapat berupa kerugian yang anda alami. Bila tidak ada risiko, percaya tidak diperlukan.

Yang kedua, orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.

Dan yang ketinga, orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya. "Why am i afraid to tell you who i am" adalah judul buku yang ditulis oleh John Powell untuk melukiskan orang-orang yang berusaha menyembunyikan perasaan dan pikirannya pada orang lain.

Mengapa saya takut mengatakan kepada anda tentang siapa saya ? Mungkin karena saya takut bila saya menceritakan tentang siapa diri saya, anda tidak akan menyenangi saya. Ini menunjukkan tidak adanya unsur percaya. Saya ingin disenangi anda dan takut kehilangan simpati ( unsur pertama : risiko ), dan saya sadar bahwa simpati itu bergantung kepada anda ( unsur kedua ). Saya tidak yakin bahwa anda akan menyukai saya, bila saya membuka diri saya. Disini, "percaya" tidak ada karena unsur ketiga tidak ada.
Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal
Apakah untungnya kita percaya pada orang lain ? Pertama, "percaya" meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikasi untuk mencapai maksudnya. Jika anda tidak mau mengungkapkan bagaimana perasaan dan pikiran anda, saya tidak akan memahami siapah anda sebenarnya. Persepsi interpersonal saya tentang diri anda terganggu. Saya mungkin mempunyai penafsiran yang salah tentang diri anda. Tanpa percaya tidak akan ada pengertian.  Tanpa pengertian terjadi kegagalan komunikasi primer. Kedua, hilangnya kepercayaan pada orang lain akan menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang akrab. Bila anada merasa kawan anda tidak jujur dan terbuka, anda pun akan memberikan respon yang sama. Akibatnya, hubungan akan berlangsung secara dangkal dan tidak mendalam. Keakraban hanya terjadi bila kita semua bersedia untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran kita. Jelaslah, tanpa percaya akan tumbuh kegagalan komunikasi sekunder.

Sejauh mana kita percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Menurut Deutsch ( 1958 ), harga diri dan otoritarianisme mempengaruhi percaya. orang yang harga dirinya positif akan cenderung mempercayai orang lain, sebaliknya orang yang mempunyai kepribadian otoriter canderung sukar mempercayai orang lain.

Sikap percaya berkembang apabila setiap komunikan menganggap komunikan lainnya berlaku jujur. Tentu saja sikap ini dibentuk berdasarkan pengalaman kita dengan komunikan. Karena itu sikap percaya berubah-ubah bergantung kepada komunikan yang dihadapi.

Ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya yaitu :

1. Menerima, adalah kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa menilai dan tanpa berusaha mengendalikan. Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Sikap menerima tidaklah semudah yang dikatakan. Kita selalu cenderung menilai dan sukar menerima. Akibatnya, hubungan interpersonal kita tidak berlangsung seperti yang kita harapkan. Bila kita tidak bersikap menerima, kita akan mengkritik, mengecam, atau menilai. Sikap seperti ini akan menghancurkan percaya. Orang enggan pula menerima kita, karena takut pada akibat-akibat jelek yang akan timbul dari reaksi kita. Sikap menerima menggerakkan sikap percaya, karena orang tahu kita tidak akan merugikan mereka.

Menerima tidaklah berarti menyetujui semua perileku orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya. Menerima berarti tidak menilai pribadi orang berdasarkan perilakunya yang tidak kita senangi. Betapapun jeleknya perilakunya menurut persepsi kita, kita tetap berkomunikasi dengan dia sebagai persona, bukan sebagai objek.

2. Empati, adalah faktor kedua yang menumbuhkan sikap percaya pada diri orang lain. Empati telah didefinisikan bermacam-macam. Empati dianggap sebagai memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita ( Freud, 1921 ). Empati dianggap sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menganggap orang lain mengalami atau siap mengalami suatu emosi ( Scotland, et al., 1978:12 ). Empati dianggap sebagai "imaginative intellectual and emotional participation in another person's experience" ( Benett, 1979 ).

Defenisi terakhir dikontraskan dengan pengertian simpati. Dalam simpati kita menempatkan diri kita  pada posisi orang lain. Bila saya melihat anda menangis karena kehilangan kekasih anda, saya mencoba membayangkan perasaan saya bila saya juga kehilangan kekasih. Saya beranggapan anda pun mempunyai perasaan seperti perasaan saya. Dalam empati, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Kita ikut serta secara emosional dan intelektual dalam pengalaman orang lain. Berempati artinya membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan empati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.

3. Kejujuran, adalah faktor ketiga yang menumbuhkan sikap percaya. Menerima dan empati mungkin saja dipersepsi salah oleh orang lain. Sikap menerima kita dapat ditanggapi sebagai sikap tak acuh, dingin dan tidak bersahabat. Empati dapat ditanggapi sebagai pura-pura. Supaya ditanggapi sebenarnya, kita harus jujur mengungkapkan diri kita kepada orang lain. Kita harus menghindari terlalu banyak melakukan "penopengan" atau "pengelolaan kesan". Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretensi yang dibuat-buat. Kita berhati-hati pada orang yang terlalu "halus" sehingga sering menyembunyikan isi hatinya atau membungkus pendapat dan sikapnya dengan lambang-lambang verbal dan nonverbal. Kejujuran menyebabkan perilaku kita dapat diduga ( predictable ). Ini mendorong orang lain untuk percaya pada kita.

B. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas, dengan sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain.

Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal ( ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif, dan sebagainya ) atau faktor-faktor situasional. Di antara faktor-faktor situasional adalah perilaku komunikasi orang lain.

Jack R. Gibb menyebutkan enam perilaku yang menimbulkan perilaku suportif yaitu :

1. Deskripsi, artinya penyampaian perasaan dan persepsi anda tanpa menilai. Deskripsi dapat terjadi juga ketika kita mengevaluasi gagasan orang lain, tetapi orang "merasa" bahwa kita menghargai diri mareka ( menerima mereka sebagai individu yang patut dihargai ).

2. Orientasi Masalah, adalah mengkomunikasikan keinginan untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah. Anda mengajak orang lain bersama-sama untuk menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.

3. Spontanitas, artinya sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. Bila orang tahu kita melakukan strategi, ia akan menjadi defensif.

4. Empati

5. Persamaan, adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis. Dalam sikap persamaan, anda tidak mempertegas perbedaan. Status boleh jadi berbeda, tetapi komunikasi anda tidak verbal. Anda tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama. Dengan persamaan, anda mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan.

6. Provisionalisme, adalah kesediaan untuk meninjau kembali pendapat kita, untuk mengakui bahwa manusia adalah tempat kesalahan, karena itu wajar juga kalau suatu saat pendapat dan keyakinannya bisa berubah ( "Provisional", dalam bahasa Inggris artinya bersifat sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengkap ).

C. Sikap Terbuka

Sikap terbuka ( open-mindedness ) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme, sehingga untuk mamahami sikap terbuka, kita harus mengidentifikasikan dogmatisme.

Marilah kita melihat contoh-contoh yang lebih jelas dan karakteristik orang yang dogmatis atau berikap tertutup :

1. Menilai pesan berdasarkan motif pribadi.

Orang dogmatis tidak akan memperhatikan logika atau proposisi, ia lebih banyak melihat sejauh mana proposisi itu sesuai dengan dirinya. Argumantasi yang objektif, logis, cukup bukti akan ditolak mentah-mentah. "Pokoknya aku tidak percaya," begitu sering diucapkan orang dogmatis. Setiap pesan akan dievaluasi berdasarkan desakan dari dalam individu ( inner pressures ). Orang dogmatis sukar menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan.

2. Berpikir simplistis.

Bagi orang dogmatis, dunia ini hanya hitam dan putih, tidak ada kelabu. Ia tidak sanggup membedakan yang setengah benar setengah salah, yang tengah-tengah. Baginya kalau tidak salah, benar. Tidak mungkin ada bentuk antara. Dunia dibagi dua : yang pro-kita di mana segala kebaikan terdapat, dan kontr-kita di mana segala kejelekan berada.

3. Berorientasi pada sumber.

Bagi orang dogmatis yang paling penting ialah siapa yang berbicara, bukan apa yang dibicarakan. Ia terikat sekali pada otoritas yang mutlak. Ia tunduk pada otoritas, karena ( seperti umumnya orang dogmatis ) ia cenderung lebih cemas dan mempunyai rasa tidak aman yang tinggi.

4. Mencari informasi dari sumber sendiri.

Orang-orang dogmatis hanya mempercayai sumber informasi mereka sendiri. Mereka tidak akan meneliti tentang orang lain dari sumber yang lain. Pemeluk aliran agama yang dogmatis hanya mempercayai penjelasan tentang keyakinan aliran lain dari sumber-sumber yang terdapat pada aliran yang dianutnya.

5. Secara kaku mempertahankan dan membela sistem kepercayaannya.

Berbeda dengan orang yang terbuka yang menerima kepercayaannya secara provisional, orang dogmatis menerima kepercayaannya secara mutlak. Orang dogmatis khawatir, bila satu butir saja dari kepercayaan yang berubah, ia akan kehilangan seluruh dunianya. Ia akan mempertahankan setiap jengkal dari wilayah kepercayaannya sampai titik darah penghabisan.

6. Tidak mampu membicarakan inkonsisten.

Ia menghindari kontrdiksi atau benturan gagasan. Informasi yang tidak konsisiten dengan desakan dari dalam dirinya akan ditolak, didistorsi, atau tidak dihiraukan sama sekali.

Agar komunikasi interpersonal yang kita lakukan melahirkan hubungan interpersonal yang efektif, dogmatisme harus digantikan dengan sikap terbuka. Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai, dan ( paling penting ) saling mengembangkan kualitas hubungan interpersonal.